Sufisme
Dan Modernitas
| Penulis: Wilta Aulia Rahmat |
Apakah
relevansi sufisme dengan modernitas? Mungkinkah sufisme bisa bertahan di tengah
sikap kritis kalangan Muslim sendiri terhadap sufisme? Apakah sufisme dapat
bertahan di tengah deru modernitas yang bertumpu pada rasionalitas dan
efisiensi serta siap menggilas segala sesuatu dalam kehidupan yang tidak cocok
dengan paradigma modernitas ini?
Bagi
sementara kalangan Muslim, sufisme atau tasawuf tidak relevan dengan
kemodernan. Bahkan, sebaliknya, dipandang sebagai hambatan bagi kaum Muslimin
dalam mencapai modernitas dan kemajuan dalam berbagai lapangan kehidupan.
Pandangan ini, yang menempatkan sufisme sebagai 'tertuduh', bukanlah sesuatu
yang baru.
Bahkan,
sejak bermulanya praktik sufistik di masa awal Islam, kaum Muhadditsin dan
Fuqaha' memandangnya sebagai tidak sesuai dengan sunah Nabi, eksesif, dan
spekulatif dalam hal-hal menyangkut Tuhan. Oposisi ini terus bertahan dari
waktu, meski Al Ghazali berhasil merukunkan syariah dan tasawuf sejak abad 12. Bahkan,
kebangkitan modernisme dan reformisme Islam sejak awal abad 20 menjadikan
tasawuf sebagai salah satu sasaran pembaharuan dan pemurnian Islam. Bagi para
pemikir, aktivis modernis, dan reformis Muslim, kaum Muslim bisa mencapai
kemajuan hanya dengan meninggalkan kepercayaan dan praktik sufistik yang mereka
pandang bercampur dengan bid'ah, khurafat,
takhayul, dan taqlid buta kepada pimpinan tasawuf dan tarekat.
Pandangan
seperti itu perlu dikaji ulang. Modernitas dan modernisasi tidak selalu
berhasil memenuhi janjinya bagi peningkatan kesejahteraan kaum Muslimin.
Sebaliknya, modernisasi yang diikuti globalisasi juga memunculkan kesulitan
baru: mulai dari meningkatnya gaya hidup materialistik dan hedonistik sampai
disorientasi dan dislokasi sosial, politik, dan budaya.
Karena
itu, membaca buku Sufism and the 'Modern' in Islam yang disunting Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell
(London: IB Tauris, 2006), sangat membantu untuk lebih memahami berbagai gejala
sufisme dalam kaitan dengan modernitas di kalangan kaum Muslimin di masa
kontemporer. Buku yang berasal dari makalah-makalah pada konferensi
internasional yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Bogor pada awal September 2003 merupakan sumbangan
penting ke arah pemahaman lebih baik tentang sufisme dewasa ini tidak hanya di
Indonesia, tetapi juga di berbagai wilayah masyarakat Muslim lain.
Satu
hal sudah pasti, yaitu terjadinya kebangkitan sufisme pada masa pascamodernitas
dan globalisasi ini. Ini bertentangan dengan anggapan yang memprediksikan
sufisme tidak dapat bertahan dalam modernisasi dan globalisasi. Tetapi, seperti
diingatkan van Bruinessen dan Howell, kebangkitan sufisme tidak bisa sepenuhnya
dipahami hanya sebagai bentuk respons kaum sufi terhadap modernitas dan
globalisasi.
Hemat
saya, kebangkitan sufisme berkaitan dengan sejumlah faktor keagamaan, sosial,
politik, ekonomi, dan budaya yang kompleks. Secara keagamaan, sejak 1980-an,
terjadi gejala peningkatan attachmen
kepada Islam, gejala yang di Indonesia biasa disebut sebagai 'santrinisasi'.
Proses itu dimungkinkan karena terbentuknya kelas menengah Muslim saat terjadi
perubahan politik rezim penguasa yang lebih rekonsiliatif dan bersahabat
terhadap kaum Muslimin dan Islam.
Relatif
mapannya keadaan ekonomi kelas menengah tersebut tidak hanya mendorong mereka,
misalnya mengerjakan ibadah haji dan umrah. Akan tetapi, juga mengeksplorasi
pengalaman keagamaan dan spiritualitas yang lebih intens. Ini hanya bisa
diberikan sufisme, bahkan bentuk spiritualitas Islam lainnya, yang memang tidak
selalu sesuai dengan paradigma dan bentuk tasawuf konvensional.
Karena
itulah, gejala sufisme kontemporer di Indonesia dan di dunia Muslim lain tidak
lagi hanya diwakili bentuk tasawuf konvensional, baik tarekat maupun tasawuf
yang diamalkan secara personal-individual. Tetapi, muncul pula bentuk baru yang
mirip dengan apa yang disebut 'new age movement', gerakan [spiritualitas
keagamaan] zaman baru.
Dalam
konteks itu, jika secara konvensional, zikir misalnya, dilakukan secara pribadi
dan kelompok di ruang tertutup, kini dilakukan secara massal dan terbuka dengan
liputan TV. Gejala baru ini tidak membuat pengamalan sufisme konvensional
lenyap. Bahkan, sebaliknya, tidak hanya bertahan, tetapi juga menemukan
momentumnya, tidak hanya di kelas menengah, sekaligus juga pada massa akar
rumput.
No comments:
Post a Comment