Artikel Baru :
Home » » MENUMBUHKAN KEMANDIRIAN ANAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM

MENUMBUHKAN KEMANDIRIAN ANAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Wednesday, August 21, 2013 | 2komentar

A.    Kemandirian Anak Dalam Perspektif Islam

Pendidikan dalam Islam mengajarkan untuk mendidik anak secara mandiri dengan mengatur anak secara jarak jauh.[1] Ketika mewasiatkan pada orang tua untuk memelihara dan membimbing pendidikan anak-anaknya, Islam tidak bermaksud memporak-porandakan jiwa anak dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga hidup dan urusannya hanya dipikirkan, diatur dan dikelola oleh kedua orang tuanya.

Memang kedua orang tualah yang bekerja banting tulang demi hidup dan masa depan anak-anaknya yang pada akhirnya anak menjadi beban tanggungan orang tua, akan tetapi tujuan utama islam adalah mengontrol perilaku anak supaya tidak terbawa oleh arus menyimpang dan keragu-raguan serta upaya membentuk kepribadian yang tidak terombang ambing dalam kehidupan ini.
Rasulullah sangat memperhatikan pertumbuhan potensi anak, baik dibidang sosial maupun ekonomi. Beliau membangun sifat percaya diri dan mandiri pada anak,  agar ia bisa bergaul dengan berbagai unsur masyarakat yang selaras dengan kepribadiannya. Dengan demikian, ia mengambil manfaat dari pengalamannya, menambah kepercayaan pada dirinya, sehingga hidupnya menjadi bersemangat dan keberaniannya bertambah. Dia tidak manja, dan kedewasaan menjadi ciri khasnya.[2]
Karena pada akhirnya nanti masing-masing individulah yang di mintai pertanggung jawaban atas apa yang di perbuatnya di dunia. Firman Allah yang termaktub dalam Al-Quran surat Al- Mudasir ayat 38 menyebutkan:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
  “tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya.[3] Selanjutnya dalam surat Al-Mukminun ayat 62 disebutkan:
وَلَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَلَدَيْنَا كِتَابٌ يَنطِقُ بِالْحَقِّ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
 “ kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi kami ada kitab yang berbicara benar, dan mereka telah dianiaya”.[4]
Dari ayat tersebut menjelaskan bahwa individu tidak akan mendapatkan suatu beban diatas kemampuannya sendiri tetapi Allah Maha Tahu dengan tidak memberi beban individu melebihi batas kemampuan individu itu sendiri. Karena itu individu dituntut untuk mandiri dalam menyelesaikan persoalan dan pekerjaannya tanpa banyak tergantung pada orang lain. Abdullah menuturkan beberapa contoh tentang inti pandangan Islam terhadap pendidikan anak dengan didukung oleh berbagai bukti dan argumentasi. Beliau mengatakan bahwa kemandirian dan kebebasan merupakan dua unsur yang menciptakan generasi muda yang mandiri.[5] Keduanya merupakan asas bangunan Islam. Rasulullah membiasakan anak untuk bersemangat dan mengemban tanggung jawab. Tidak mengapa anak disuruh mempersiapkan meja makan sendirian. Ia akan menjadi pembantu dan penolong bagi yang lainnya. Daripada anak menjadi pemalas dan beban bagi orang lain.[6] Rasulullah bersabda: “bermain-mainlah dengan anakmu selama seminggu, didiklah ia selama seminggu, temanilah ia selama seminggu pula, setelah itu suruhlah ia mandiri”. (HR. Bukhari)[7]
Dari hadits tersebut menunjukkan bahwa orang tua mempunyai andil yang besar dalam mendidik kemandirian anak. Ada upaya-upayayang harus dilakukan orang tua ketika menginginkan anak tumbuh mandiri. Dan upaya tersebut harus dilakukan setahap demi setahap agar apa yang diharapkan dapat terwujud.
Dalam Islam, subtansi pembinaan adalah  ajaran islam itu sendiri. Secara garis besar ada beberapa  bidang materi pendidikan Islam, seperti aqidah, ibadah dan akhlak.[8]
Untuk mengetahui dengan jelas materi pembinaan anak menurut Islam, berikut akan dijelaskan beberapa materi pembinaan anak.



B.     Pendidikan Aqidah
Aqidah merupakan materi pembinaan anak dalam Islam. Kata “aqidah” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yang berarti pengikat. Aqidah merupakan kepercayaan penuh kepada Allah SWT dengan segala sifatnya dan ia merupakan pembeda antara orang mukmin dan orang kafir.[9] Hasan Al Banna mengatakan: “aqidah Islam adalah landasan atau asas kepercayaan dimana diatasnya dibina iman yang mengharuskan hati meyakininya. Membuat jiwa menjadi tentram, bersih dari kebimbangan dan keraguan menjadi sendi pokok bagi kehidupan setiap manusia”.[10]
Pendidikan aqidah bagi anak.seperti yang telah kita ketahui bahwasannya aqidah Islam adalah sebagai berikut :
1.    Beriman kepada Allah
2.    Beriman kepada para malaikat
3.    Beriman kepada kitab-kitab Allah
4.    Beriman kepara para rasul
5.    Beriman kepada hari akhir
6.    Beriman kepada qadha’ dan qadar yang baik maupun yang buruk
Dan tentunya pendidikan aqidah ini lebih baik ditanamkan sedari kecil kepada anak-anak kita, karena fase anak-anak itulah kita harus memulai mengenalkan akan aqidah, bahwasannya setiap anak dalam kelahirannya mengakui bahwa Allah adalah Tuhannya sebagai mana firman Allah Ta'ala :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا 
"Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)." (QS. Al Α’raf: 172)
Adalah salah satu bagian dari karunia Allah SWT pada hati manusia bahwa Dia melapangkan hati untuk menerima iman di awal pertumbuhannya tanpa perlu kepada argumentasi dan bukti yang nyata, dan kita sebagai orang tua perlu membuat suasana lingkungan yang mendukung dan positif, memberi teladan pada anak, banyak berdoa untuk anak, dan hendaknya kita tidak melewatkan kejadian sehari-hari melainkan kita menjadikannya sebagai sarana penanaman pendidikan baik itu pendidikan aqidah maupun pendidikan lainnya.
Jadi aqidah merupakan landasan atau asas kepercayaan yang ditanamkan kedalam jiwa seseorang sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Lukmanul Hakim ketika mendidik putranya yang telah digambarkan dalam Al-Quran surah Lukman ayat:13
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
dan ingatlah ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “ hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (QS. Lukman: 13)[11]
Ayat diatas menunjukkan aqidah merupakan landasan utama dimana ditegakkan ajaran Islam. Dalam materi ini anak dibina dan ditanamkan rasa keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT. Dengan menjelaskan dalil-dalilnya.
Apabila para ayah dan ibu terus berusaha membangkitkan dan mencerahkan fitrah makrifatullah dan keyakinan tentang Tuhan dalam diri sang anak, niscaya nilai-nilai spiritual dan keutamaan akhlaknya menjadi hidup.[12]
Keyakinan tentang adanya Allah dan Pencipta yang kita wujudkan dalam bentuk amal perbuatan, akan senantiasa menjaga sang anak dari perbuatan dosa dan menyimpangan. Dan setiap kali keyakinan tersebut menguat, penjagaan diri sang anak pun akan menguat pula.
Di antara tugas terpenting para orang tua terhadap anak-anaknya adalah mengajarkan kewajiban agama dan amal ibadah. Semua itu harus diajarkan sebelum sang anak memasuki masa baligh. Semasa itu ia harus diajari cara mempraktikkan amal ibadah. Itu dimaksudkan agar pada masa baligh dan seterusnya ia tidak mengalami kesulitan melakukannya.
Mengajarkan Al-Quran dan hadits Nabi SAW serta riwayat para imam maksum, juga merupakan tugas penting dan berpengaruh besar terhadap pendidikan agama sang anak. Hal lain yang patut diperhatikan orang tua adalah bahwa sang anak memiliki jiwa yang lembut dan sangat sensitif sehingga segenap bentuk motivasi dan perasaan kasih sayang menjadi sangat berarti baginya. Sebaliknya, sikap keras dan pelimpahan tugas-tugas yang berat, dalam waktu singkat akan menjadikan jiwa dan mental sang anak melemah, yang pada gilirannya akan menyebabkan semangat dan kecenderungan dirinya berkurang.


C.    Pendidikan Ibadah
Selain materi aqidah, juga diberikan materi ibadah. “Ibadah adalah perbuatan untuk manyatakan bakti kepada Allah SWT, atau untuk menunaikan segala kewajiban yang diperintahkan Allah SWT dengan sungguh-sungguh”.[13]
Materi ini menerangkan cara-cara beribadah. Terkadang menggunakan metode demonstrasi dalam mempraktekkan cara-cara melaksanakan ibadah, seperti wudhu’, cara shalat dan lain sebagainya. Dengan materi ini diharapkan anak akan menjadi orang yang taat beribadah serta mematuhi yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang agama.
Mendidik anak pada hakikatnya merupakan usaha nyata dari orang tua dalam rangka mensyukuri karunia dan mengemban amanat Allah SWT. Oleh karena itu pendidikan agama yang diterima merupakan hak anak. Dengan menyadari hakikat anak, orang tua diharapkan akan menyadari kewajiban dan tanggung jawabnya. Berkenaan dengan hal ini, M. Fauzil Adhim mengklasifikasikan pendidikan ibadah bagi anak sesuai umur dan perkembangan jiwa anak sebagai berikut:
1.    Sejak dalam kandungan selama kurang lebih 9 bulan. Kebutuhan yang paling penting dalam masa ini adalah kerahiman (kasih sayang tulus) dari ibunya.
2.  Selanjutnya adalah masa lahir sampai usia dua tahun, masa ini umum disebut masa bayi. Pada masa ini, anak memerlukan kasih sayang dan perhatian yang melibatkan langsung dirinya untuk menuju kehidupan berikutnya. Ibu diharapkan membimbingnya untuk mengenalkan lingkungan sosialnya.
3.  Berikutnya adalah masa thufulah atau masa kanak-kanak, yang berlangsung antara usia dua sampai tujuh tahun. Pada masa ini, anak butuh dikembangkan potensinya seoptimal mungkin, karena sedang aktif-aktifnya, cerdas-cerdasnya, peka-pekanya, gemes-gemesnya bahkan cerewet-cerewetnya. Inilah masa yang tepat untuk memberikan dasar-dasar tauhid anak melalui sentuhan dzauq (rasa), sehingga nantinya akan lebih merangsang anak untuk memiliki tauhid yang aktif, kedalaman tauhid yang nantinya akan mendorongnya untuk bergerak melakukan sesuatu yang baik.
4.  Kemudian usia tujuh tahun, dimana anak memasuki tahap perkembangan tamyiz atau kemampuan awal membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta benar dan salah melalui penalarannya. Pada tahap ini anak perlu mendapatkan pendidikan pokok syariat (ibadah) yang sifatnya mahdhah maupun ghairu mahdhah, disamping tentunya pendidikan tauhid, pendidikan akhlak dan lain sebagainya secara simultan yang berlangsung hingga usia 12 tahun.[14]

Dari periodisasi dan klasifikasi diatas, maka orang yang paling bertanggung jawab dalam menyiapkan anak menuju taklif adalah orang tua. Sebagai realisasi tanggung jawab orang tua sebagai pendidik dan menyampaikan materi-materi pokok pendidikan bagi anak, ada beberapa aspek yang menjadi urutan prioritas utama.[15]
Prof. Dr. Nashih Ulwan menjelaskan bahwa dengan adanya pendidikan agama (ibadah) yang diberikan oleh orang tua sesuai dengan masa pertumbuhannya tersebut, maka ketika anak telah tumbuh dewasa akan terbiasa melakukan dan terdidik untuk mentaati Allah, melaksanakan hak-Nya, bersyukur kepada-Nya, kembali kepada-Nya dan berserah diri kepada-Nya.[16]
Berkaitan dengan hal ini, Zakiah Daradjat memberikan argumen, bahwa apabila anak tidak terbiasa melaksanakan ajaran agama terutama ibadah dan tidak pula dilatih atau dibiasakan melaksanakan hal-hal yang disuruh Tuhan dalam kehidupan sehari-hari seperti shalat, puasa, berdo’a dan lain-lain maka, pada waktu dewasanya nanti ia akan cenderung kepada acuh tak acuh, anti agama, atau sekurang-kurangnya ia tidak akan merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Sebaliknya, bila anak mendapat latihan dan pembiasaan agama, pada waktu dewasanya nanti akan semakin merasakan kebutuhan akan agama.[17]
Sebagai wujud dari tanggung jawab orang tua dalam mendidik dan menananmkan nilai-nilai ibadah kepada anak-anaknya, ada beberapa aspek yang sangat penting untuk diperhatikan orang tua. Sebagaimana diungkapkan Chabib Toha berdasarkan Al-Quran surah Lukman ayat 17:
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan-perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.
Pendidikan shalat dalam ayat diatas tidak hanya terbatas tentang kaifiyat shalat saja. Mereka harus mampu tampil sebagai pelopor amar ma’ruf nahi mungkar serta jiwanya teruji menjadi orang yang sabar.
Berkenaan dengan penanaman nilai-nilai dibalik pendidikan ibadah bagi anak. Harun Nasution menjelaskan, bahwa manusia dalam Islam, tersusun dari dua unsur, yaitu unsur jasmani dan rohani.[18] Tubuh manusia berasal dari materi dan mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya material. Sedangkan rohani manusia bersifat immateri dan mempunyai kebutuhan spiritual. Pendidikan jasmani maupun rohani harus mendapatkan porsi seimbang. Oleh karena itu, sangatlah penting supaya rohani yang ada dalam diri manusia dilatih secara baik seperti halnya badan manusia yang dilatih dengan olahraga sehingga terwujud jasmani dan rohani yang sehat.
Dalam islam ibadahlah yang memberikan latihan rohani yang diperlukan manusia itu.[19] Semua ibadah yang ada dalam Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya bertujuan membuat rohani manusia senantiasa tidak lupa pada Tuhan, bahkan senantiasa dekat kepada-Nya. Keadaan senantiasa dekat kepada Tuhan sebagai Zat yang maha suci dapat mempertajam rasa kesucian seseorang. Rasa kesucian yang kuat dapat menjadi rem bagi hawa nafsu untuk melanggar nilai-nilai moral, peraturan dan hukum yang berlaku dalam memenuhi keinginannya.
Sementara itu mengenai materi pendidikan ibadah secara menyeluruh oleh para ulama telah dikemas dalam sebuah disiplin ilmu yang dinamakan ilmu fiqh atau fiqh Islam.[20] Fiqh Islam itu tidak hanya membicarakan hukum dan tata cara ibadah shalat, melainkan meliputi pembahasan tentang puasa, zakat, haji, tata ekonomi Islam (muamalat), hukum waris (faraid), tata pernikahan (munakahat), tata hukum pidana (jinayat dan hudud), tata peperangan (jihad), makanan sampai dengan tata negara (khilafah). Pendek kata, seluruh tata pelaksanaan mentaati perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya terbahas secara lengkap didalamnya.
Oleh karena itu cara peribadatan menyeluruh sebagaimana termaktub dalam fiqh Islam itu hendaklah diperkenalkan sejak dini dan sedikit demi sedikit dibiasakan dalam diri anak, agar kelak mereka menjadi insan yang benar-benar taqwa, yakni insan yang taat menjalankan segala perintah agama dan taat pula dalam menjauhi larangannya.
Pengalaman anak terhadap fiqh Islam hendaklah diawali dengan pengenalan ilmunya. Ia perlu mendapatkan bimbingan orang tua yang benar-benar tahu, sehingga kelak peribadatan yang diamalkan benar-benar berdasar pada syariat Islam, bukan berdasar perkiraan semata. Ibadah sebagai realisasi dari aqidah Islamiah harus tetap terpancar dan teramalkan dengan baik oleh setiap anak. Beribadah adalah kewajiban kepada Allah SWT seperti menganjurkan kebaikan, mencegah kemungkaran, berbudi pekerti baik, menolong yang teraniaya, melawan nafsu amarah dan berbagai perbuatan baik lainnya.
Sebelum usia baliqh, seorang anak harus sudah memiliki kesiapan yang cukup untuk melaksanakan taklif (tugas dan kewajiban) agama. Karena itu, pada usia tersebut, ia harus diajarkan bagaimana cara melaksanakan kewajiban agama, seperti shalat, puasa, dan ibadah lainnya. Selain itu, ia juga harus diberi penjelasan tentang segenap nilai-nilai penting yang berkaitan dengan peribadahan.
Berdasarkan riwayat dari para imam maksum, saking pentingnya mengajarkan taklif kepada sseorang anak (seperti ibadah shalat), para orang tua bahkan (bila perlu) dibolehkan untuk melakukannya dengan cara paksa.
Rasulullah SAW bersabda: “perintahkanlah anak-anakmu melaksanakan shalat ketika berumur tujuh tahun. Dan jika ketika mencapai umur sepuluh tahun, berikanlah peringatan (teguran keras) kepada mereka dan pisahkan (berilah jarak) tempat tidur mereka satu sama lain.” (Mizan Al-Hikmah, Juz X, hal. 722)[21]
Dalam riwayat lain yang berkenaan dengan melatih puasa seorang anak yang masih belum baliqh, imam al-Shadiq berkata:
kami memerintahkan anak-anak kami berpuasa ketika mencapai usia tujuh tahun, berdasarkan kemampuan waktu mereka untuk berpuasa dalam sehari. Boleh setengah hari, atau lebih, atau kurang. Yang jelas, mereka boleh berbuka ketika rasa haus dan lapar menimpa mereka. Ini dilakukan agar mereka terbiasa berpuasa dan terasah kemampuannya. Ketika anak-anak anda mencapai umur sembilan tahun, desaklah mereka agar berpuasa. Namun mereka boleh berbuka bila rasa haus dan lapar menimpa mereka”. (Mizan al-Hikmah, juz X, hal. 722)”[22]

Berbagai riwayat dari para imam suci juga amat menekankan pendidikan Al-Quran dan hadits. Dikatakan didlamnya bahwa salah satu hak anak atas ayahnya adalah mendapatkan pengajaran Al-Quran.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata: “hak anak atas ayah adalah memberikan nama yang baik untuknya, mendidiknya dengan sebaik-baiknya dan mengajarkan Al-Quran.” (Nahj al-Balaghah, hikmah ke-399)
Dalam riwayat lain, Imam al-Shadiq berkata: “sebelum pengikut Murji’ah (dan golongan lain) mempengaruhi anak anda, kenalkanlah ia dengan hadits (Nabi SAW dan para imam) serta ajarilah riwayat-riwayat Islam kepadanya.” (Mizan al-Hikmah, juz X, hal. 72)

C.    Pendidikan Akhlak
Dilihat dari sudut bahasa, perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab, bentuk jama’ dari khulq. Khulq di dalam Kamus al-Munjid berarti budi pekerti perangai, tingkah laku atau tabi’at.[23] Di dalam Da’iratul Ma’arif dikatakan: “akhlak adalah sifat-sifat manusia yang terdidik”.
Akhlak merupakan tabi’at seseorang yang dapat mempengaruhi segenap perkataan dan perbuatannya dalam menjalani kehidupan. Jika akhlak baik, maka baiklah gerak-geriknya, begitu juga sebaliknya.
Sejalan dengan pentingnya penyampaian materi akhlak dalam pembinaan anak, Rasulullah juga diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia sebagaimana diterangkan dalam salah satu hadits sebagai berikut: “Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad bin Hanbal).[24]
Berdasarkan hadits di atas, orang tua memberikan pedoman cara-cara bergaul yang baik terhadap anak yang sesuai menurut ajaran Islam. Pada dasarnya materi akhlak ini materi yang sangat penting dalam pembinaan moral anak.
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ia dengan takwa merupakan ‘buah’ pohon Islam yang berakarkan aqidah, bercabang dan berdaun syari’ah. Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah.[25] Diantaranya adalah seperti hadits di atas, hadits lainnya: “mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya”. (HR. Tarmizi). Dan, akhlak Nabi Muhammad, yang diutus menyempurnakan akhlak manusia itu, disebut akhlak Islam atau akhlak Islami, karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat dalam Al-Quran yang menjadi sumber utama agama dan ajaran Islam.
Dikalangan umat Islam masalah yang penting ini sering kurang digambarkan secara baik dan benar kalau dibandingkan dengan penggambaran tentang syari’at, terutama yang berhubungan dengan shalat, sehingga, akibatnya, karena tidak mengenal butir-butir akhlak menurut agama Islam, dalam praktik, tingkah laku kebanyakan orang Islam tidak sesuai dengan akhlak Islami yang disebut dalam Al-Quran dan dicontohkan oleh Nabi             Muhammad dalam kehidupan beliau sehari-hari.[26] Suri teladan yang diberikan Rasulullah selama hidup beliau merupakan contoh akhlak yang tercantum dalam Al-Quran.
Allah mengutus Rasulullah SAW untuk menyempurnakan akhlak manusia. Pendidikan akhlak mengutamakan nilai-nilai universal dan fitrah yang dapat diterima oleh semua pihak. Beberapa akhlak yang dicontohkan Nabi SAW di antaranya adalah menyenangi kelembutan, kasih sayang, tidak kikir dan keluh kesah, tidak hasud, menahan diri dari marah, mengendalikan emosi dan mencintai saudaranya. Akhlak yang demikian perlu diajarkan dan dicontohkan orang tua kepada anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari.[27] Allah berfirman:
إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًاۤإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًاۤوَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًاۤإِلَّا الْمُصَلِّينَۤالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَۤ
 “sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya”. (QS. Al-Maarij: 19-23).
Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya Allah SWT menyenangi kelembutan dalam semua persoalan”. (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda: “tidak beriman salah seorang di antara kalian sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. (HR. Bukhari). Hadits selanjutnya: “jauhilah oleh kalian hasud karena hasud itu akan memakan kebaikan seperti halnya api memakan kayu bakar”. (HR. Abu Daud). Dalam hadits lainnya Rasulullah bersabda: “barang siapa yang menahan diri dari amarah dan dapat mengendalikan emosi, niscaya Allah akan memanggilnya pada hari kiamat lebih dulu daripada makhluk lain seingga diberitahukan-Nya untuk memilih bidadari mana saja yang dikehendakinya”. (HR. Abu Daud). Rasulullah SAW bersabda: “bukan termasuk golonganku orang yang menipu”. (HR. Abu Daud).
Ketika orang tua bersama anak di rumah, manfaatkanlah untuk mengajarkan akhlak dengan contoh teladan atau mendidiknya. Akhlak Islam melarang kita berbuat sombong dan angkuh, membaguskan budi pekerti, bertobat, menyucikan diri dan memperindah tingkah laku.
Tanggung jawab orang tua di antaranya adalah memperbaiki akhlak anaknya. Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (bersih) kemudian lingkungannya yang akan mengotori anak tersebut. Oleh karena itu, orang tua wajib menyediakan lingkungan sosial yang baik untuk menumbuhkan akhlak Islam. Orang tua selain menjadi contoh teladan akhlak Islam juga mencarikan anak teman yang saleh dan pendidikan yang baik. Media yang menyesatkan perlu dihindari dari anak, begitu juga dengan pergaulan. Mengajarkan akhlak yang efektif kepada anak adalah dengan memberikan contoh akhlak yang baik.[28]
Islam mengajarkan kepada kita bahwa dalam mendidik anak harus menjauhkan anak dari tempat permainan yang tidak baik, hal-hal yang batil, tempat hiburan, mendengarkan suara-suara keji dan buruk, dan pembicaraan yang tidak baik. Apabila anak sudah terbiasa dan kecanduan dengan yang tidak baik maka norma-norma pendidikan akan teracuni dan hal ini bisa terbawa hingga masa dewasa.
Ajarilah anak dengan berbagai adab Islami seperti makan dengan tangan kanan, mengucapkan basmalah sebelum makan, menjaga kebersihan, mengucapkan salam dan lain-lain, begitu pula dengan akhlak, tanamkanlah kepda mereka akhlak-akhlak mulia seperti berkata dan bersikap jujur, berbakti kepada orang tua, dermawan, menghormati yang lebih tua dan sayang kepada yang lebih muda, serta beragam akhlak yang lainnya.
Hendaknya anak sedini mungkin  diperingatkan dari beragam perbuatan yang tidak baik atau bahkan diharamkan seperti merokok, judi, minum khamr, mencuri, mengambil hak orang lain, zhalim, durhaka kepada orang tua dan segenap perbuatan dosa lainnya.
Setiap anak yang tumbuh dan berkembang, sebelum ia mengalami proses pendidikan di sekolah, sejatinya berasal dari rumah tempat ia menjalani hari-harinya bersama keluarga. Karena itu orang tualah yang memegang peran yang sangat penting dalam hal pendidikan anak, walaupun ada beberapa kondisi yang menyebabkan anak tidak bisa mendapatkan pendidikan dari orang tuanya, seperti anak yatim piatu semenjak lahir, anak yang dibuang oleh orang tuanya dan lain-lain. Tetapi dalam kondisi normal, orang tua merupakan pendidik anak yang pertama dan utama. Bahkan dalam Al-Qur’an serta Sunnah banyak sekali ditegaskan tentang pentingnya mendidik anak bagi para orang tua. Anak yang terdidik dengan baik oleh orang tuanya akan tumbuh menjadi anak yang pandai menjaga dirinya dari pengaruh buruk lingkungan, karena ia telah dibekali oleh ilmu tentang hidup dan kehidupan yang di dalamnya terdapat ilmu yang paling bermanfaat yaitu ilmu agama.
Banyak sekali sekolah-sekolah yang memfasilitasi kita untuk menjadi seperti apa yang kita cita-citakan walaupun tidak selalu terwujudkan, ingin menjadi dokter ada sekolahnya, ingin menjadi guru juga ada sekolahnya begitupun dengan profesi lain. Tetapi adakah sekolah untuk menjadi orang tua? Padahal setinggi apapun karier kita dalam profesi tertentu, sejatinya kita akan tetap menjalani fitrah yang sama yaitu menjadi orang tua, walaupun tidak semua orang ditakdirkan Allah SWT untuk dapat memiliki anak, maka bersyukurlah bagi kita yang diamanahi Allah SWT anak-anak yang menjadi penyejuk mata dan harapan di masa yang akan datang.
Setiap orang tua harus senantiasa belajar tentang ilmu mendidik anak karena tidak ada sekolah khusus untuk menjadi orang tua. Tetapi banyak sekali yang dapat memfasilitasi hal itu jika kita bersungguh-sungguh ingin belajar menjadi orang tua yang baik, terutama di zaman ini dimana perkembangan ilmu dan teknologi begitu cepat dan mampu menembus ruang dan waktu. Orang tua yang memiliki bekal ilmu dalam mendidik anak akan sadar tentang pentingnya pendidikan anak sejak usia dini bahkan sejak anak masih berada di dalam rahim ibu, bahkan menurut penelitian, kondisi ibu saat hamil sangat mempengaruhi akhlak anak, bila ibu mampu menjaga diri dari makanan-makanan yang tidak halal dan juga perilaku-perilaku yang tidak terpuji insya Allah anak yang lahir akan menjadi anak yang sholeh. Karena tidak ada bayi yang terlahir kecuali suci, namun ia mencontoh dari orang tua, tontonan televisi/media, guru dan lingkungan pergaulannya.

Selain faktor kondisi ibu, ada hal lain yang tak kalah pentingnya dalam pendidikan anak sejak dini yaitu peran ayah yang merupakan patner ibu dalam membentuk generasi yang tangguh dalam menghadapi tantangan zaman. Sejak anak masih berada dalam kandungan, peran suami dalam memberi dukungan serta kasih sayang pada istrinya dapat mempengaruhi kondisi kehamilan, bayi yang berada dalam kandungan ibu pun harus diajak berinteraksi oleh ayah dan ibunya sebagai tahap awal dalam mendidik anak. Selain itu memperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an juga terbukti dapat meningkatkan kecerdasan anak terutama kecerdasan emosi dan spiritual.[29]

Referensi

[1]. Al-Husaini Abdul Majid Hasyim. Pendidikan Anak Menurut Islam. (Bandung: Sinar Baru Algesindo. 1994). Hal. 79
[2]. Jamal Abdurrahman. Cara Nabi Menyiapkan Generasi ( Surabaya: CV Fitrah Mandiri Sejahtera. 2006). Hal. 212
[3].Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya. (Bandung: CV Penerbit Diponegoro. 2004).
[4].  Ibid
[5] . Al-Husaini Abdul Majid Hasyim, Pendidikan Anak.........hal. 79
[6] . Jamal Abdurrahman, Cara Nabi...........hal. 215
[7] . As- Sayid Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir Al-Manar (Jakarta: Pustaka Hidayah. 1993). Hal. 298
[8]. Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Jilid III (Beirut: Darun SJilid III (Beirut: Darun Shadirun, t,t), hal 413
[9] Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972) hal. 132
[10] Abu Ahmadi dan Noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam. Cet. I, ( Jakarta: Bumi Aksara 1991), hal. 240.
[11] . Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: Gema Risalah Press, 1989), hal. 655
[12] . Banu Garawiyan, Memahami Gejolak Emosi Anak. Cet. III, (Bogor: Cahaya, 2003) hal. 113
[13] Departemen P dan K. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 467
[14]. M. Fauzil Adhim. Mendidik Anak Menuju Taklif. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 16
[15] M. Chabib Toha. Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 105
[16] Abdullah Nashih Ulwan. Tarbiyat al-Aulad fi al-Islam, diterjemahkan oleh: Drs. Jamaluddin Miri, Lc dengan judul Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hal. 167-168
[17] Zakiah Daradjat. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 80
[18] Harun Nasution. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1985), hal. 36
[19] Ibid..............hal. 37
[20] M. Nippon Abdul Halim. Anak Shalih Dambaan Keluarga. (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), hal. 102
[21]   Banu Garawiyan, Memahami Gejolak..................hal. 116
[22]   Banu Garawiyan, Memahami Gejolak..................hal. 117
[23] Abu Daud. (Dalam Fauzi Saleh, Lc. MA). Konsep Pendidikan Dalam Islam: “Pendidikan Keluarga Dan Pengaruhnya Terhadap Anak”. Cet. I (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2005), hal. 28
[24] Departemen Agama RI, Al-Quran dan................hal. 635
[25] Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH. Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 348
[26] Ibid................hal. 349
[27] DR. H. Irwan Prayitno, Psi, Msc dan Datuak Rajo Bandaro Basa. “Anakku Penyejuk Hatiku”. (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), hal. 493
[28] Ibid.........................hal. 534
[29]. Lastri Yanuar. “Penanaman Nilai Akhlak dan Moral Pada Anak”. (Online). http://www.dakwatuna.com/2013/05/08/32891/penanaman-nilai-akhlak-dan-moral-pada-anak/#ixzz2W6iPvn9h. Diakses 13 Juli 2013.
Share this article :

2 comments:

  1. salam kenal terim kasih telah sher artikel ..
    Artikelnya sangar menarik dan mudah dipahami... oya klo tempat yang jual kaos kaki bayi grosir di manaya ....
    mohon pencerahnnya

    ReplyDelete

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. PENDIDIKAN ISLAM - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger