Saudaraku pembaca, sebagai seorang muslim, pasti tidak asing lagi mendengar kata Tauhid.
 Sebuah kata yang sangat penting dan urgen di dalam agama Islam. Tetapi,
 betapa banyak kaum muslimin yang meremehkan kata tersebut. 
Oleh karena 
itu, tidak ada salahnya jika kita akan sedikit mengulang dan membahas 
tentang kedudukan dan keutaman tauhid dalam agama Islam, dengan harapan 
kita semakin cinta akan agama ini dan semakin bersemangat dalam 
memahami, mengamalkan, dan kemudian mendakwahkanya. Atau minimal dapat menyegarkan kembali ingatan kita akan pentingnya kalimat At-Tauhid dalam diri kita.
Tujuan Diciptakannya Jin dan Manusia Adalah untuk Menauhidkan Allah
Sesungguhnya,
 Allah menciptakan seluruh alam semesta termasuk di dalamnya jin dan 
manusia adalah hanya untuk beribadah kepada-Nya. Allah Ta’ala telah 
berfirman dalam Al-Qur’an Al-Karim, “Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku” (Adz-Dzariyat: 56).
 Inilah hakikat diciptakannya jin dan manusia, yaitu hanya untuk 
beribadah kepada Allah saja tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu 
apapun. Sebab, tauhid hanya kepada Allah saja, karena syarat diterimanya
 suatu ibadah/ amalan adalah ikhlas kepada Allah merupakan hak Allah 
yang harus ditunaikan oleh setiap manusia. Setiap manusia harus 
mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah. 
Jika seseorang beribadah kepada selain Allah, maka ia telah berbuat 
syirik kepada Allah dan hal itu mengeluarkannya dari Dienul Islam. Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku hanya menyembah tuhanku dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya.” (Al-Jin: 20). Maka, perhatikanlah wahai kaum Muslimin!
Tauhid, Merupakan Inti Dakwah Para Rasul
Allah mengutus setiap rasul kepada setiap ummatnya untuk memulai dakwahnya kepada tauhid. Karena hal ini merupakan perintah Allah yang harus mereka sampaikan kepada ummatnya. Allah berfirman, “Dan
 Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami 
wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang benar untuk 
disembah) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” 
(Al-Anbiyaa’: 25). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
 ketika berdakwah di Makah selama tiga belas tahun beliau mengajak 
kaumnya untuk mengesakan Allah saja (tauhid), tidak kepada yang lain. Di
 antara wahyu yang diturunkan kepada beliau ketika itu adalah firman 
Allah dalam Surah Al-Jin ayat 20 yang telah disebutkan di atas. Selain 
itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendidik para Shahabat agar senantiasa memulai dakwahnya dengan tauhid. Ketika Rasul mengutus shahabat Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘anhu berdakwah ke Yaman, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Hendaknya
 yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah bersaksi, 
‘Sesungguhnya tidak ada Ilah/ sesembahan (yang benar untuk disembah) 
kecuali Allah’, Dalam riwayat lain disebutkan, ‘Agar mereka mengesakan 
Allah’.” (Muttafaq ‘alaih). Jadi, setiap rasul memulai
 dakwahnya dengan tauhid, memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah saja, 
dan menjauhi syirik. Maka, wajib bagi siapapun untuk memulai dan 
memprioritaskan dakwahnya dengan tauhid, tanpa menafikan (meniadakan) 
dakwah kepada syari’at yang lainnya.
Sumber Keamanan Manusia dan Ketenteraman dengan Bertauhid
Para Ahli Tauhid hatinya selalu tenang dan aman, sebab mereka tidak pernah takut kecuali kepada Allah saja. Ahli Tauhid merasa aman ketika manusia ketakutan dan merasa tenang ketika mereka kalut. Allah berfirman,
 “Orang-orang yang beriman dan  tidak mencampuradukkan imam mereka 
dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82).
 Ayat ini memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman yang 
menauhidkan Allah. Mereka yang tidak mencampuradukkan antara keimanan 
dengan kesyirikan, sungguh mereka akan mendapatkan keamanan yang 
sempurna dari Allah. Keamanan ini bersumber dari dalam jiwa, bukan oleh 
penjagaan manusia atau pihak keamanan. Dan keamanan yang dimaksud adalah
 keamanan di dunia dan akhirat. Sebab, Ahli Tauhid mengetahui bahwa 
kezholiman yang terbesar adalah syirik kepada Allah sebagaimana 
penjelasan Rasulullah ketika para shahabat bertanya tentang maksud dari 
ayat di atas dalam hadits dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhuma.
 Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan, “Ketika ayat ini turun (Al-An’am: 
82), banyak umat Islam yang merasa sedih dan berat. Mereka berkata siapa
 di antara kita yang tidak berlaku zhalim kepada dirinya sendiri? Lalu 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab: “Yang
 dimaksud bukan (kezhaliman) itu, tetapi syirik. Belumkah kalian 
mendengar nesihat Luqman kepada puteranya, ‘Wahai anakku, janganlah kamu
 mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah (syirik) 
benar- benar suatu kezhaliman yang besar’.(Luqman: 13)”. (Muttafaq
 ‘alaih). Sungguh, para Shahabat Nabi sangat takut jika diri mereka 
berbuat zhalim (syirik) kepada Allah, maka pakah kita tidak merasa takut
 jika kita berbuat syirik kepada Allah?? Ayat ini merupakan kabar 
gembira bagi setiap orang yang selalu meninggikan Kalimatut Tauhid, yang
 tidak mencampuradukkan antara keimanan dan kesyirikan, sungguh mereka 
akan mendapat pertolongan dan keamanan dari siksa Allah di akhirat.
Sebagai Pembawa Kebahagiaan dan Pelebur Dosa
Seorang
 ahli tauhid yang memurnikan ibadahnya hanya kepada Allah saja dan 
menjauhi segala praktik kesyirikan, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan
 yang sejati bagi dirinya, dan menjadi penyebab bagi penghapusan segala 
dosanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa
 bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang benar untuk disembah) kecuali
 Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan 
rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya lepada Maryam serta ruh 
daripada-Nya, dan (bersaksi pula bahwa) surga hádala benar adanya dan 
Neraka pun benar adanya maka Allah pasti memasukkannya ke dalam surga, 
apapun amalan yang diperbuatnya.” (H.R. Bukhari dan 
Muslim). Oleh karena itu, siapa saja yang murni aqidah dan  tauhidnya, 
tanpa mengotorinya dengan  kesyirikan, maka Allah menjanjikan Surga 
kepadanya. Walaupun, sebagian amalannya terdapat dosa dan maksiat. Dalam
 sebuah hadits Qudsi, Allah berfirman: “Hai anak Adam, 
seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan 
engkau tidak menemui-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku sedikitpun, 
niscaya Aku berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.”
 (H.R. Tirmidzi dan adh-Dhayya’, hadits hasan). Wahai kaum Muslimin, 
seandainya kita menemui Allah dengan membawa dosa dan maksiat sepenuh 
bumi, tetapi kita meninggal dalam keadaan bertauhid, insya Allah, segala
 dosa kita akan diampuni oleh Allah, dan pasti masuk surga dan tidak 
akan kekal di neraka. 
Hak Allah yang Pertama dan Terakhir yang Harus Ditunaikan Hamba-Nya
 Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Allah mengampuni dosa selain itu bagi orang-orang yang Dia kehendaki” (An
 Nisaa’: 116). Sehingga syirik menjadi larangan yang terbesar. Maka, 
tauhid merupakan perintah yang paling besar, sebab tauhid merupakan 
lawan dari tauhid. Oleh karena itu, setiap manusia wajib menauhidkan 
Allah. Allah menyebutkan kewajiban ini sebelum kewajiban lainnya yang 
harus ditunaikan oleh hamba. Allah Ta’ala berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah pada kedua orang tua” (An Nisaa’: 36). Kewajiban ini lebih wajib daripada semua kewajiban, bahkan lebih wajib daripada berbakti kepada orang tua. Allah berfirman, “Dan
 jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan 
sesuatu yang  tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu 
mengikuti keduanya…” (Luqman : 15). Sehingga 
seandainya orang tua memaksa anaknya untuk berbuat syirik maka tidak 
boleh ditaati  dengan cara yang baik dan lemah lembut. 
Sebagaimana telah dijelaskan di awal risalah ini, Rasul memerintahkan para utusan dakwahnya agar menyampaikan tauhid terlebih dahulu sebelum yang lainnya. Yaitu, Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal rodhiyallohu ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka menauhidkan Allah.” (riwayat Bukhari dan Muslim). Selain itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda, “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illallah niscaya masuk surga” (riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Gholil).
  Dua hadits di atas menjadi dalil bahwa tauhid merupakan kewajiban yang
 paling pertama yang harus ditunaikan oleh setiap manusia pun menjadi 
kewajiban yang terakhir bagi setiap umat. Oleh karena itu, bersyukurlah 
bagi siapa saja yang senantiasa menauhidkan Allah, dan semoga kita semua
 mati dalam keadaan bertauhid kepada Allah, tanpa syirik sedikitpun. 
Bagaimana cara menauhidkan Allah?
Setelah
 kita mengetahui bahwa tauhid memiliki keutamaan dan kedudukan yang 
tinggi di dalam Islam, maka wajib bagi kita untuk selalu menauhidkan 
Allah, memurnikan syahadatain Laa ilaaha illallah Muhammadar Rasuulullah, dengan
 cara mempelajari atau mengilmuinya, yaitu dengan mempelajari Kitabullah
 (Al-Qur’an) dan Sunnah (Hadits) Rasulullah sesuai dengan pemahaman para
 Shahabat Nabi. Mengapa harus pemahaman Shahabat Nabi, dan bukan yang 
lainya?? Karena Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, “Orang-orang
 yang terdahulu (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan 
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada 
mereka dan merekapun telah ridha kepada Allah. Allah telah menyiapkan 
bagi mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka 
kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (At Taubah: 100). Para Shahabat Radhiallahu ‘anhum
 yang telah dijanjikan Surga oleh Allah, menjadikan aqidah sebagai ruh 
dalam menjalankan segala aktivitas mereka, termasuk ketika jihad melawan
 orang kafir. Kemenangan selelu diraih oleh pasukan Islam ketika 
berperang meninggikan kalimat Tauhid melawan orang kafir. Sebab, para 
Shahabat hanya menjadikan Allah saja sebagai penolong mereka. Maka, 
beruntunglah orang-orang yang mengikuti Muhajirin dan Anshar (para 
Shahabat) dalam segala hal termasuk masalah aqidah. Semoga Allah 
mengumpulkan kita di Jannah-Nya bersama para nabi dan rasul, dan ahli 
tauhid (umat Islam).
Sedangkan dalil untuk mengilmui/ mempelajari tauhid (Laa ilaaha illallah) sebagaimana firman Allah, “Maka
 ketahuilah, bahwa tidak ada sesembahan (yang benar untuk disembah) 
selain Allah, dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) 
orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat
 usaha dan tempat tinggalmu.” (Muhammad: 19). Juga firman-Nya, “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang yang berilmu.” (Al-‘Ankabut: 43). Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan berilmu tentang Laa ilaaha Illallah, maka dia pasti masuk Surga.”
 (H.R. Ahmad, Shahih). Maka, kita wajib mengilmui makna yang diinginkan 
dari kalimat tersebut, baik yang dinafikan (ditolak) maupun yang 
ditetapkan, dan kemudian berusaha mengamalkannya. 
Namun,
 sangat disayangkan betapa banyak ummat Islam di zaman ini yang 
meremehkan dan lalai, bahkan bodoh dalam masalah aqidah!! Ini merupakan 
suatu musibah besar bagi Ummat Islam!! Sehingga, pantaslah 
kekalahan selalu diderita oleh umat Islam pada saat ini. Semoga hal ini 
menjadi pelajaran bagi mereka yang mau berpikir. Wallaahu A’lam bish-Shawab. 
[Disadur dari Buletin Al-Atsary, diterbitkan oleh Forum Studi Islam Al-Atsary Jatinangor, Edisi 1/ tahun I/ 8 Jumadil Ula 1428 H/ 25 Mei 2007 M]

No comments:
Post a Comment