Filsafat Pendidikan dan Implikasinya
Penulis: Wilta Aulia Rahmat
Pendahuluan
Filsafat adalah berfikir radikal. Berfikir
radikal adalah berfikir hingga ke “radik”, akar. Jadi berfikir filsafati dalam
pendidikan adalah berfikir mengakar/menuju akar atau intisari pendidikan.
Pertanyan filsafati biasanya berkisar pada tiga hal; ontologis, epistomologis
dan aksiologis. Pertanyaan ontologis adalah pertanyaan yang menggugat
identitas; sebetulnya pendidikan itu apa ?. Sedangkan pertanyaan
epistemologis adalah pertanyaan yang menggugat cara; bagaimana suatu
pendidikan yang “apa”-nya sudah diketahui, dijalankan ? Dan yang ketiga
(ontologis) adalah pertanyaan yang menggugat tujuan; untuk apa suatu
pendidikan itu digelar ?
Tulisan singkat dan sederhana ini berusaha untuk menjelaskan tiga pertanyaan itu
semua.
Semoga bisa memperkaya wawasan kita sebagai para
pekerja pendidikan (education workers) !
Tiga Paradigma Utama Pendidikan
- Paradigma adalah world view, cara memandang dunia. Dari suatu paradigma akan terbentuk perilaku yang mencerminkan paradigma yang dianut. Bagaimana suatu pendidikan sebagai sebuah perilaku kolektif dan sistemik memandang dunia, adalah pertanyaan yang harus dijawab sebelum kita menentukan variabel-variabel pendidikan lainnya. Paradigma pendidikan ini ditentukan oleh para pemegang kebijakan sistem pendidikan (stake holder) seperti, pemerintah, kepala sekolah, pemilik yayasan, pimpinan organisasi, dan sebagainya.
Dalam menjawab pertanyaan,
bagaimana pendidikan memandang dunia, ada tiga jawaban yang lazimnya muncul. Yang
pertama, adalah sistem pendidikan yang memandang realitas luar sebagai
sesuatu yang given, telah berlaku dari sononya, tidak bisa/perlu
dirubah, bahkan perlu dilestarikan. Inilah sistem pendidikan yang pro status
quo. Para ahli filsafat pendidikan mengistilahkannya dengan Pendidikan
Konservatif.
Pendidikan konsevatif ini lazim diberlakukan
pada negara-negara dengan rezim yang otoriter. Rezim yang menggunakan kekuatan
represif untuk membungkam mulut rakyatnya. Rezim ini berusaha untuk mengelabui
masyarakatnya bahwa ketidakadilan dan penyakit sosial yang ada (seperti:
pengangguran, kriminalitas, konflik sosial, kemiskinan, kebodohan) adalah
sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, sebagai sebuah determinasi historis
(takdir sejarah). Pendidikan ini juga berusaha untuk memisahkan peran
pendidikan dengan realitas luar pendidikan. Pendidikan hidup dalam menara
gading yang tak tersentuh (karena mahalnya pendidikan) dan tak menyentuh
masyarakat banyak. Dari sistem pendidikan seperti inilah akan kita dapati
output pendidikan yang gamang ketika kembali ke realitas sosialnya. Persis
seperti cerita putra asli pedalaman kalimantan yang pergi menempuh pendidikan
di pulau Jawa dan ketika pulang kembali ke Kalimantan hanya menjadi “sampah”
masyarakatnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Berburu tidak bisa.
Bertani/berladang tidak bisa. Bahkan, berenang saja, sebagai suatu keahlian
wajib di Kalimantan yang banyak sungai, kagak gape!
- Paradigma pendidikan yang kedua adalah paradigma liberal. Paradigma ini memandang bahwa ketidakadilan sosial terjadi karena kelalaian manusia itu sendiri. Kalau ada pengangguran maka itu adalah kesalahan manusianya yang kurang kreatif, tidak berjiwa wirausaha dan malas. Kalau ada kemiskinan kota (poor urban) itu disebabkan karena manusianya yang malas berusaha di desa dan maunya hidup enak saja di kota. Pendidikan ini memang lebih memusatkan pehatiannya pada diri manusia. Untuk itu pendidikan dengan paradigma ini banyak menggelar praktek-praktek pengembangan manusia (istilah yang biasa dipakai adalah human development, self management, melejitkan potensi diri dan sejenisnya). Dari paradigma liberal ini pula lahir pelatihan/training semacam AMT (Achievement Motivation Training) yang disusun oleh David Mc Leland. Pelatihan ini berasumsi bahwa kemelaratan masyarakat disebabkan oleh kurang dimilikinya need of achievement (virus berprestasi) dalam masyarakat itu. Untuk itu training-training AMT banyak digelar oleh negara-negara kaya di negara-negara dunia ketiga (development and under development countries) untuk menyebarkan virus berprestasi di tengah-tengah rakyatnya.
Pendidikan liberal ternyata tidak berperan
banyak untuk mengatasi ketimpangan sosial. Ideologi developmentalisme yang
berada dibelakang paradigma pendidikan ini malah melahirkan sekelompok
masyarakat elit baru yang tidak mau menyentuh masyarakat yang ada dibawahnya.
Efek menetes yang diyakini oleh developmentalisme ternyata hanyalah khayalan.
Masyarakat bawah enggan disentuh karena dipandang mereka sebagai masyarakat
yang malas. Inilah pola pendidikan yang blaming the victim!
- Paradigma pendidikan yang ketiga adalah paradigma pendidikan kritis. Pendidikan kritis memandang, bahwa pendidikan harus secara utuh meresapi dan menyatu di tengah-tengah masyarakatnya. Paradigma ini memandang akar ketidakadilan sosial adalah sistem yang berlaku pada masyarakat itu. Sistem itu dapat berupa sistem politik (yang otoriter dan anti demokrasi), sistem sosial (yang melestarikan kasta-kasta dan menghambat laju mobilitas sosial), sistem ekonomi (yang kapitalistik, dan anti kerakyatan) sistem budaya (yang patriaki dan anti egaliter), bahkan sistem pendidikan itu sendiri (yang menjadi alat pengukuh kekuasaan dan pro status quo). Untuk itu pendidikan kritis berupaya melahirkan individu-individu (dan akhirnya masyarakat) yang mampu mendekonstruksi dan merekonstruksi sistem yang ada. Pola pendidikan inilah yang berupaya untuk diperjuangkan oleh Paulo Freire, seorang ahli pendidikan dari Amerika Latin yang berupaya untuk menghapuskan buta huruf sekaligus menggali akar kemelaratan sosial di Brazilia.
Pola pendidikan yang kritis ini nyatanya tidak
diminati oleh para ahli pendidikan (yang memang produk dari pendidikan
konservatif) sehingga bentuk prakteknya jarang kita saksikan di Indonesia.
Pendidikan ini lebih populer di kalangan aktifis LSM/NGO “kiri” yang anti
kemapanan dan pro HAM. Karena itu pula, bangunan ilmiah dari paradigma kritis
ini masih terus tumbuh dan berkembang.
Kesadaran Manusia
Setiap praktek pendidikan
membentuk kesadaran. Kesadaran ini dapat didefinisikan juga sebagai pandangan
hidup yang menjadi pola (pattern) yang mempengaruhi penerimaan
pengetahuan, sikap dan perilaku yang merupakan hasil transfer dari pendidikan
itu. Secara komunal, kesadaran ini akan menjadi kesadaran masyarakat yang
mempengaruhi pola hidup masyarakat.
Menurut analisis Freire ada tiga
kesadaran yang menjadi turunan dari tiga paradigma pendidikan di atas.
Pertama, adalah kesadaran
magis. Secara arkeologis ilmu pengetahuan, kesadaran magis terbentuk pada
masyarakat yang masih mempercayai hal-hal yang supranatural. Masyarakat ini
meyakini bahwa kekuatan terbesar yang mempengaruhi kehidupan mereka adalah
hal-hal yang gaib, mistis, supranatural (luar alam). Sehingga hal-hal gaib ini
harus di-“tundukkan” dengan sesajen dan do’a-do’a. Kuntowijoyo menyebut
masyarakat ini sebagai masyarakat pada tahap mitos. Masyarakat dengan kesadaran
magis, adalah masyarakat yang deterministik, pasrah pada takdir. Masyarakat ini
akhirnya, nrimo saja terhadap ketidak adilan sosial yang terjadi. Di
tinjau dari paradigma pendidikan, masyarakat dengan kesadaran magis adalah
masyarakat hasil dari pendidikan konservatif.
Kedua,
adalah kesadaran naif. Masyarakat dengan kesadaran naif adalah
masyarakat yang memandang bahwa setiap ketidakadilan sosial berakar dari
kelemahan manusia. Secara arkeologis ilmu pengetahuan, masyarakat dengan
kesadaran naif terbentuk pada masyarakat yang percaya bahwa kekuatan natural
(alam) adalah kekuatan terbesar yang mempengaruhi segala masalah di dunia ini.
Untuk itu kekuatan alam harus ditundukkan oleh tangan manusia. Bila alam tak
bisa ditundukkan oleh manusia, yang itu akan mengakibatkan kekacauan, maka
manusia itulah yang lalai dan lemah. Untuk itulah maka diciptakan mesin-mesin
yang berfungsi untuk membantu manusia menundukkan alam. Dalam era penciptaan
mesin-mesin yang menggantikan manusia itulah muncul ideologi-ideologi politik
dan sosial besar dunia (kapitalisme dan sosialisme). Sehingga, Kuntowijoyo
mengistilahkan masyarakat pada tahap ini adalah masyarakat pada tahap
ideologis. Pendidikan paradigma kedua (liberal) adalah pendidikan yang
memproduksi masyarakat dengan kesadaran ini.
Ketiga, adalah kesadaran
kritis. Yaitu masyarakat yang menyadari bahwa kekacauan di dunia ini
diciptakan oleh sistem yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Secara arkeologis
ilmu pengetahuan, masyarakat kritis adalah masyarakat yang keyakinannya telah
bergeser dari kepercayaan kekuatan terbesarnya kepada alam menuju kekuatan
manusia. Untuk itu kekuatan manusia yang menjelma pada sistem ini harus
ditundukkan dengan “ilmu” dan kesadaran kritis. Karena itu pula Kuntowijoyo
menyebut masyarakat pada tahap ini dengan istilah “masyarakat ilmu”. Hanya
pendidikan kritis-lah yang dapat menghasilkan kesadaran kritis ini.
Tujuan Pendidikan dan Teori Belajar
Secara umum ada tiga tujuan pendidikan yang biasanya
ingin dicapai oleh para pelaku pendidikan. Hal ini berdasarkan pada tiga
tindakan sosial (social act) utama manusia yang diungkapkan Jurgen
Habermas. Tiga tindakan itu adalah; tindakan karya (work), tindakan
komunikasi dan tindakan pembebasan.
Pendidikan yang bertujuan karya (work)
adalah pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan manusia-manusia “siap
guna”. Dapat bekerja, baik sendiri maupun bersama-sama untuk melestarikan dan
memajukan sistem yang telah ada. Secara ekstrim, pendidikan yang bertujuan
karya ini akhirnya akan menciptakan manusia yang cinta pada benda mati
(nekrofili) dan tidak cinta pada manusia yang lain (biofili). Manusia nekrofili
akan merasa utuh kemanusiaannya jika memiliki harta kekayaan dan kekuasaan,
meskipun tidak dicintai oleh manusia lainnya.
Pendidikan dan pelatihan yang belangsung selama
ini hampir 90% bermain pada wilayah kekaryaan ini. Secara umum pendidikan
dengan tujuan kekaryaan ini memakai behaviorisme sebagai landasan teori
belajarnya, disamping juga sedikit teori kognitif dan humanistik.
Berikut ini simpul-simpul teori-teori belajar
tersebut menurut Ernest Hilgard dan Gordon Bower dari Standford University :
Dari teori S-R :
1. Murid harus aktif
2. Frekuensi latihan yang cukup tinggi sangat
penting untuk memperoleh ketrampilan dan retensi (penguatan daya ingatan)
dilakukan belajar secara berulang-ulang.
3. Sangat diperlukan re-enforcement: murid
yang dapat mengulang dengan baik dan menjawab dengan benar dapat diberi
ganjaran.
4. Generalisasi dan diskriminasi memberi
kesan akan pentingnya praktek dalam konteks yang bervariasi, sehingga belajar
adalah penting bagi jajaran stimuli yang lebih luas.
5. Tingkah laku yang baru dicapai lewat
peniruan model, pengenalan dan pembentukan tingkah laku,
6. Drive state diperlukan juga, tetapi
ini berbeda dari sikap, atau dalam drive state ini mereka tidak perlu
menyesuaikan secara keseluruhan pada prinsip-prinsip drive education
yang didasarkan pada eksperimen “penghilangan makanan”.
Dari teori kognitif :
1. Organisasi pengetahuan yang akan disajikan
tidak mengalami arbitrasi. Prosedur penyajian materi tidak sekedar berlangsung
dari yang sederhana hingga yang kompleks, tetapi dari keseluruhan sampel sampai
keseluruhan yang lebih kompleks.
2. Secara kultural belajar relatif. Situasi
belajar dipengaruhi oleh kebudayaan secara luas maupun oleh sub-kebudayaan
dimana orang merasa memiliki.
3. Cognitif feedback semestinya
mengkonfirmasikan pengetahuan yang benar dan membuat koreksi terhadap belajar
yang salah. Murid mengusahakan sesuatu secara profesional dan kemudian menerima
atau menolak apa-apa yang dikerjakan atas dasar konsekuensi-konsekuensi.
4. Penentuan tujuan belajar oleh murid sangat
penting sebagai motivasi belajar, keberhasilan dan kegagalan belajar itu sangat
menentukan bagaimana ia menetapkan tujuan-tujuan di masa yang akan datang.
5. Pemikiran yang berbeda-beda yang mengacu
pada pemilihan alternatif perlu dikembangkan secara terpadu dan hanya mempunyai
satu cara yang logis untuk satu jawaban yang benar.
Dari teori motivasi dan kepribadian :
1. Memperhatikan kemampuan masing-masing
murid sangat penting. Rata-rata cara dan waktu belajar masing-masing individu
sehingga harus diakomodasikan dalam desain training.
2. Perkembangan setelah bayi lahir, pengaruh
keturunan, serta bakat dan kemampuan sama pentingnya untuk diperhatikan.
3. Tingkat ketegangan (anxiety)
mempengaruhi belajar manusia antara satu individu dan yang lainnya.
4. Situasi yang sama mungkin saja
menghasilkan motivasi yang berbeda-beda, tergantung apakah mereka diarahkan
untuk kebutuhan afiliasi atau pencapaian tujuan.
5. Organisasi motif dan nilai yang terkandung
dalam individu sesuai dengan cara belajarnya. Orang cenderung belajar apa-apa
yang dipandang perlu bagi khusus dirinya.
Tujuan pendidikan yang kedua adalah
interaksi atau komunikasi. Pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan
masyarakat yang egaliter yang mampu bekerjasama dan berinteraksi untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan. Dalam dunia industri, pelatihan komunikasi juga
kerap diselenggarakan namun dalam kaitannya sebagai komplemen dari training
ke-karya-an.
Pendidikan
komunikasi meniscayakan lingkungan belajar yang saling menghormati, menghargai,
saling terbuka, dan bebas dari saling menghujat. Dalam lingkungan belajar yang
emansipatoris itulah akan muncul segala potensi-potensi individu yang dikelola sedemikian
sehingga menjadi kekuatan kelompok. Pendidikan ini, bila dilepaskan dari
kepentingan kapitalisme, dapat menghantarkan pesertanya menjadi manusia-manusia
biofili, manusia yang lebih menghargai nilai kemanusiaannya manusia yang lain.
Pendidikan komunikasi sebagai wahana pengelolaan
kekuatan individu menjadi kekuatan kelompok (group dynamic) memakai
teori psikologi Gestalt sebagai teori belajarnya. Psikologi Gestalt diciptakan
oleh Kurt Lewin dengan simpul-simpul pemikiran sebagai berikut :
1. Inti dari konsep pengaruh medan adalah,
“Sebuah lingkungan selalu beada dalam pengaruh kekuatan medan”. Istilah
kekuatan medan diambil dari teori medan magnet ilmu fisika, yang dalam medan
magnet pusat kekuatan terletak pada butir-butir magnet yang masing-masing
mempunyai daya dorong dan daya tarik terhadap satu sama lainnya, sedangkan pada
kelompok manusia, pusat kekuatan medan terletak pada aktor-aktor secara
individual yang berada di suatu lingkungan yang masing-masing memiliki tujuan.
2.Lewin menjelaskan bahwa perilaku seseorang
merupakan fungsi dari kepribadian (personality) dan pengaruh lingkungan
(environment) sekitarnya. B = f (P.E)
3.Menurut Lewin ada tiga kekuatan yang
berpengaruh dalam suatu medan. Yaitu aprreciation (-), influence (+) dan
controll (-/+).
4.Totalitas dari ketiga kekuatan di atas
menciptakan medan yang meneukan jalannnya proses interaksi sosial, yang disebut
dengan group dynamic.
Tujuan pendidikan yang ketiga adalah
pembebasan. Pendidikan pembebasan bertujuan agar manusia tidak hanya menyadari
kekuatan-kekuatan individunya (yang dilatih dalam training kekaryaan), namun
juga menyadari kekuatan-kekuatan kelompoknya (yang diasah dalam training
interaksi), dan realitas struktural yang melingkupinya, sehingga mereka dapat
membebaskan diri dari struktur yang membelenggunya.
Dalam praktiknya, pendidikan pembebasan lebih
banyak memakai asumsi-asumsi training untuk berinteraksi, sehingga seringkali
training interaksi dan pembebasan berbaur menjadi satu tema, “participatory
learning”.
Bila training untuk interaksi sulit ditemui maka
training untuk pembebasan lebih sulit lagi untuk dijumpai dan didapatkan
contohnya. Namun, sekali lagi literatur-literatur dari Paulo Freire dapat kita
jadikan rujukan dalam menggagas training perubahan di masyarakat kita.
Penutup
Demikian tulisan singkat ini disajikan. Beberapa hal yang belum dibahas pada tulisan ini
meliputi kajian mengenai aspek-aspek teknis seperti ; pendekatan pendidikan,
peran guru/fasilitator pendidikan, metodologi, media pendidikan, dan evaluasi, insya
Allah akan dibahas pada tulisan berikutnya.
Referensi :
1. Mansour Fakih, Russ Dilt, et all. Pendidikan
Popular, Membangun Kesadaran Kritis, REaD Books, Yogyakarta, 2001
2. Drs. Baderel Munir,MA, Dinamika
Kelompok, Penerbit Universitas Sriwijaya, Palembang, 2001
3. Hildegard Wenzler-Cremer & Maria
Fischer-Siregar, Proses Pengembangan Diri, Permainan dan latihan dinamika
kelompok, Grasindo, Jakarta, 1993.
4. Solita Sarwono, Kumpulan Latihan
Dinamika Kelompok,Badan Penerbit UI, Jakarta, 1982
5. Roem Topatimasang, Sekolah Itu Candu,
penerbit dan tahun terbit lupa.
6. Paulo Freire, Pedagogy of The
Oppressed, Pendidikan Kaum Tertindas (terj.), LP3S, tahun terbit lupa.
7. Mansour Fakih, Utomo Danandjaya, et all. Panduan
Pemandu Pelatihan Orang Dewasa, P3M, tahun terbit lupa (sekitar 1984)
8. Makalah Andragogy dan Dynamic
Group (terj.) dari Malcolm Knowles (tahun terbit lupa)
9. Buku-buku mengenai pendidikan orang dewasa
dan pendidikan kritis lainnya.
thanks gan infonya !!!
ReplyDeletewww.bisnistiket.co.id