Part 2
B. ISLAM TANPA
MAZHAB
1. Penjelasan
Tentang Mazhab
Mengingat seringnya dipertanyakan masalah mazhab dan dengan adanya
sekolompok umat Islam yang beranggapan bahwa memahami hukum Islam langsung
bersumber kepada Al Quran dan Al Hadits bagi orang Islam sekarang itu sesat
menyesatkan, ditambah lagi adanya anggapan bahwa umat Islam jika
mengikuti/taklid kepada salah satu mazhab empat atau mazhab tertentu maka perlu
ada penjelasan mengenai hal-hal tersebut diatas.
Mazhab berasal dari akar kata zahaba artinya jalan atau tempat
pergi, sinonim (persamaa kataya) maslikon atau torikum atau sabilon.
Menurut istilah mazhab adalah paham atau aliran yang merupakan hasil pemikiran
seorang Ulama mengenai hukum-hukum Islam melalui ijtihad (nasihat). Orang yang
bermazhab adalah orang yang dalam menjalankan ibadah kepada
pemikiran/pendapatnya itu sesuai dengan Al Quran dan Al Hadits atau
menyalahi/bertentangan dengan Al Quran dan Al Hadits.
Taklid ialah menerima ucapan orang yang berkata (masalah agama) dengan
tidak ada hujjah (dalil dari Al Quran dan Al Hadits). Ulama yang ditokohkan
sebagai Imam mazhab atau pendiri mazhab adalah:
1. Imam Abu
Hanafiah yang lahir di kota Kuffah pada
tahun 80 H dan wafat pada tahun 150 H. Nama penuh beliau ialah Al Imam ArghDhomu
Abu Hanifah Al Nu’man bin Tsabit Bin Zhauthabnimah.
2. Imam Malik
lahir di Madinah pada tahun 95H dan wafat pada tahun 179H. Nama penuh beliau
ialah Abu Abdullah Malikubun Ansobni Malikin Al Asjayi.
3. Imam Syafi’i
lahir di Ghozah Palestine pada tahun 150H dibesarkan di Makkah dan wafat di
Qarafiah pada tahun 204H. Nama penuh beliau ialah Abu Abdullah Muhammad Bin
Idris Bin Abbas Bin Uthman Bin Syai’ibi Khurasyiyul Mutalibbiyu.
4. Imam Ahmad Bin
Hanbal lahir di Baghdad pada tahun 164H dan wafat pada tahun 241H nama penuh
beliau ialah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Bin Hilal Bin Asyadin
Syaibani.
Selain dari empat orang tersebut
diatas masih ada lagi di sebut-sebut sebagai Imam mazhab seperti Imam Hasan
Basri, Sufyan Atshauri, Ibnu Uyainah, dan Ibnu Abi Laila, Alhuza’I dan
Allaetsi.
Apakah betul Ulama sebagaimana
tersebut diatas itu sebagai pendiri-pendiri mazhab? Mereka semua bukan pendiri
mazhab, jadi salah! Orang yang mengatakan bahwa
mereka sebagai pendiri atau Imam mazhab karena mereka semua sepakat melarang
atau taklid kepada mereka atau orang lain. Mereka tidak pernah mengajak umat
islam supaya mengikuti pendapat mereka, lagi pula timbulnya mazhab itu sesudah
beliau wafat yaitu setelah abad ketiga Hijriah.
Imam Hanafi, Imam Malik, Imam
Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal adalah tokoh-tokoh Ulama ahli hadits/ahli Sunnah
yang sangat terkenal, mustahil mereka mengajak umat Islam taqlid dan mengambil
fatwa dari mereka selama belum mengerti dalil-dalil yang dijadikan dasar fatwa
mereka.
“Dan sungguh-sungguh telah tetap
dari Imam Abi Hanafiah dan Malik dan Syafi’i dan Ahmad dan selain mereka,
mudah-mudahan Allah yang Maha Luhur
memberi rahmat kepada mereka, bahwa mereka berkata; tidak halal bagi seseorang
member fatwa dengan perkataan-perkataan kami atau mengambil ucapan kami selama
belum mengerti dari mana kami mengambil dan telah menjelaskan tiap-tiap satu
dari mereka, sesungguhnya apabila telah shahih suatu hadits maka dia itu
mazhabku dan mereka juga: apabila aku mengatakan suatu perkataan maka ujilah
dia dengan kitabullah dan sunnah Rasulnya, maka jika perkataan itu
cocok/bertepatan kedua-duanya maka terimalah dia dan ucapan yang menyalahi keduanya maka tolaklah dia dan
buanglah ucapanku diluar pagar”
2. Timbulnya
mazhab
setelah Imam Hanfi, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam
Ahmad bin Hambal wafat muncullah generasi sesudah mereka, menyusun/mengarang
kitab-kitab dan di nisbatkan sebagai kitab-kitab mazhab ini atau itu walaupun
isinya banyak yang tidak sesuai dengan pendapat Imam mazhab.
Kemudian kitab-kitab tersebut diberikan syarah-syarah
(keterangan-keterangan) sehingga kitab-kitab itu menjadi semakin tebal lantas
kitab-kitab syarah itu diberi hasyiyah-hasyiyah (keterangan pinggir) sehingga
menjadi tebal lagi dan hasyiyah-hasyiyah itu diberi lagi taqrirot-taqrirot,
pendapat-pendapat yang ada dalam kitab masing-masing, kadang-kadang saling
bertentangan sehingga suatu benda/barang mempunyai dua hukum dalam saat yang
bersamaan, barangnya sama tetapi menurut mazhab syafi’i itu haram dan menurut
mazhab Maliki halal: contoh seperti binatang buas yang bertaring haram menurut
mazhab Syafi’i dan halal menurut mazhab Maliki.
Mereka berpegang teguh dengan pendapat yang ada dalam
kitab masing-masing sehingga mereka tenggelam dalam perbantahan, berfirqoh-firqoh
dalam mazhab dan mereka fanatik dalam mazhab masing-masing, mereka membuat
syarat-syarat qoyid-qoyid (ikatan-ikatan) dan rumusan-rumusan untuk mengamalkan
kitab-kitab mereka dibagi-bagi menjadi bebrapa bagian, ada yang menjadi
mujtahid mutlaq, mujtahid mazhab, mufti mazhab, murrojjihu mazhab dan maqolid.
Setelah itu umat Islam diwajibkan taqlid kepada salah
satu mazhab empat dan orang-orang yang sudah masuk dalam salah satu mazhab
haram mengambil dan mengamalkan ucapan-ucapan orang yang bukan mazhabnya dan
mereka dilarang berpindah-pindah mazhab.
Andaikata ada pendapat mazhabnya menyalahi sunah Rasul
kemudian ditunjukkan kepada mereka hadits yang shahih yang bertentangan dengan
pendapat mazhab, mereka menolak hadits dari Nabi itu dan mereka merasa puas
dengan pendapat-pendapat mazhabnya, jika ada ayat Al-Quran atau Hadits dari
Rasulullah SAW, harus diuji dulu, kalau cocok sesuai dengan pendapat mazhab
akan diterima dan kalau tidak cocok/sesuai dengan pendapat mazhabnya akan
ditolak.
Imam Bughowi salah seorang penghidup Sunnah Rasul
berkata: “Aku membacakan kepada mereka (orang yang bertaklid) beberapa ayat
Al-quran dalam beberapa masalah sedangkan mazhab mereka bertentangan dengan
ayat tersebut, maka mereka tidak menerima Al-quran dan tidak menoleh kepadanya
seperti orang yang keheranan.”
Bagaimana
mungkin boleh/mengamalkan zahir ayat ini padahal riwayat orang-orang dulu
bertentangan dengan ayat ini. Sebetulnya keadaan orang yang taklid sebagaimana
tersebut di atas bertentangan dengan peraturan Allah, Rasul dan Imam mereka
sendiri.
“Berkata Imam Syafi’i, mudah-mudahan Allah memberikan
rahmat kepadanya: telah ijmak umat Islam bahwa orang yang telah jelas baginya Sunnah
Rasulullah SAW, tidak halal baginya meninggalkan Sunnah Rasul karena ucapan
seseorang” (Halil Muslim
halaman 18)
3. Hukum Bermazhab
Dengan Mazhab Tertentu
1 Umat Islam pada abad pertama dan abad kedua Hijriah
tidak mengenal taklid kepada mazhab dan tidak ada mazhab yang empat pada waktu
itu, mereka hanya mengjkuti Sunnah Rasulullah SAW dan mengikuti sunnah Khulafaurrasyidin,
mereka melaksanakan ibadah kepada Allah langsung berdasarkan Al Quran dan Hadits,
jika mereka tidak mengerti tentang sesuatu hukum mereka akan bertanya pada Ulama,
bagaimana hukum ini dan itu menurut Al Quran dan Al Hadits. Mereka tidak
menanyakan bagaimana hukumnya ini dan itu menurut pendapat anda.
Bermazhab atau
mengenepikan mazhab tertentu itu tidak wajib dan tidak sunnah karena yang
dikatakan wajib dan sunnah itu apa-apa yang diwajibkan atau disunnahkan oleh
Allah dan Rasulnya. Allah dan Rasul
tidak mewajibkan seseorang untuk bermazhab dengan mazhab seseorang lantas dia
bertaklid kepadanya dalam urusan
agamanya, kalau bermazhab tertentu itu wajib bagaimana umat Islam yang hidup pada
abad pertama dan abad kedua Hijriah, waktu itu belum ada mazhab yang empat.
Apakah mereka tidak sah Islamnya karena tidak mengikuti mazhab yang empat? Padahal
mereka adalah para sahabat Nabi, Tabi’in, Wa’aman Tabi’ahum, apakah justru
mereka yang beribadah kepada Allah langsung berdasarkan Al-Quran dan Al Hadits
itu yang sesat dan orang yang mengikuti mazhab tertentu walaupun yang menyalahi
Sunnah Rasul itu benar dan dapat hidayah? Fikirkanlah!
2 Orang yang bertaklid kepada mazhab tidak bertanya
bagaimana hukum Allah dan Rasulnya tetapi mereka menanyakan bagaimana pendapat
Imam mazhab mengenai ini dan itu. Jika pendapat Imamnya bertentangan dengan
kitab Allah dan Rasulnya mereka tidak mau kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul
melainkan mereka tetap memegangi pendapat Imam mereka dan meninggalkan Al-Quran
dan Sunnah.
Perbuatan
mereka yang demikian itu sangat tidak benar karena seolah-olah pendapat Ulama
kedudukannya melebihi Al-Quran dan Sunnah. Ini dapat dibayangkan betapa besar
dosa dan kesalahan orang yang menganggap lebih mulia pendapat manusia daripada
Allah dan Rasul.
“Imam Syafi’i berkata: umat Islam
tidak ijmak, bahwa orang yang telah jelas baginya Sunnah Rasul, maka tidak
halal baginya meninggalkan Sunnah Rasul karena memegangi ucapan seseorang”. (Halil Muslim, hal. 20)
Orang
yang meninggalkan ucapan Rasul karena ucapan seseorang, berarti menganggap
ucapan seseorang itu yang menjadi pokok agamanya, adapun Sunnah Rasul kalau
cocok/sesuai dengan ucapan seseorang dari Ulama mazhabnya diterima, kalau tidak
cocok/sesuai tidak diterima. Ini berarti pula bahwa orang itu beranggapan
seorang Ulama nilainya lebih tinggi daripada Nabi Muhammad SAW.
Kita
membayangkan betapa besar dosanya orang yang berpendapat begitu. Perbuatan yang
demikian itu sama halnya dengan perbuatan Yahudi Nasrani yang telah menjadikan Ulama
mereka (Pendeta) menjadi Tuhan selain Allah bukan karena mereka menganggap
Ulama sebagai Tuhan tetapi karena mereka bertaklid kepada Ulama mereka,
menerima dan mengikuti ucapan Ulama tentang hukum agama walaupun bertentangan
dengan kitab suci mereka.
Pada
suatu hari Ady Ibnu Hatim seorang pemimpin kaum Tho’yi datang ke Madinah
menghadap Rasulullah SAW dan dileher Ady terdapat salib yang terbuat dari
perak, waktu itu Nabi sedang membaca Surat At-Taubah ayat 30 “Orang Yahudi
berkata:”Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu
putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru
perkataan orang-orang kafir terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana
mereka sampai berpaling? Berkata Ady innahum lam yak buduhum yang
artinya: sesungguhnya Yahudi dan Nasrani itu tidak menyembah kepada mereka
(Ulama) atau Pendeta, maka Rasulullah menjawab:
“Bahkan mereka menyembah Ahbar dan Ruhban,
sesungguhnya mereka mengharamkan atas mereka barang yang halal dan menghalalkan
untuk mereka barang yang haram, maka orang Yahudi dan Nasrani mengikuti mereka,
maka yang demikian itu ibadah mereka kepada Ahbar dan Ruhban” (Hadits Riwayat Ahmad)
Jadi
taklid kepada Ulama/mazhab tertentu itu hukumnya sama dengan menjadikan
Ulama-Ulama menjadi Tuhan selain Allah. Sebagaimana penjelasan tersebut diatas,
bahkan Imam Syafi’i juga berkata:
“Barang siapa taklid kepada orang
tertentu didalam mengharamkan sesuatu atau menghalalkannya sedangkan telah tetap
Hadits Shahih menyalahinya dan perbuatan taklid itu mencegah dia dari
mengamalkan Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan orang yang ditaklid
itu menjadi Tuhan selain Allah Ta’ala, dia telah mengharamkan atasnya apa-apa
yang telah dihalalkan oleh Allah.”
C. DASAR HUKUM
HARAMNYA TAKLID KEPADA MAZHAB-MAZHAB TERTENTU/ORANG-RANG TERTENTU
Firman Allah dalam Al-Quran:
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al-Israa’:36)
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al-Israa’:36)
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan bahwa (yang kami perintahkan
ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari
jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. Al-An’am:153)
Dan lagi:
- “Jauhilah perkara baru dalam agama karena tiap-tiap perkara baru dalam agama itu bid’ah dan tiap-tiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Daud)
- “Telah tetap dari Imam Abi Hanfiah, Malik, Syafi’i dan Ahmad serta lain-lain Rahimahumullah, sesungguhnya mereka berkata: tidak halal bagi seseorang berfatwa dengan ucapan kami atau mengambil ucapan kami selagi belum mengerti dari (dalil) mana kami mengambilnya”
- “Dikatakan kepada Abi Hanafiah, mudah-mudahan Allah Ta’ala memberi rahmat kepadanya, jika engkau berkata suatu perkataan dan Kitabullah itu menyalahinya. Dia berkata: tinggalkanlah perkataanku karena Kitabullah, maka dikatakan: jika khabar dari Rasulullah itu menyalahinya. Dia berkata: tinggalkanlah perkataanku karena khabar dari Rasulullah, maka dikatakan kepadanya, jika ada perkataan Sahabat Radiallahuanhum itu menyalahinya dia berkata: tinggalkanlah perkataanku karena perkataan Sahabat Radiallahuanhum. (Halil Muslim. Hal.21)
- “Telah berkata Imam Syafi’i Rahimahumullah Ta’ala, ketika aku mengatakan suatu perkataan dan ada dari Rasulullah SAW itu menyalahi perkataanku, maka apa-apa yang shahih dari Haditsnya Rasulullah itu lebih utama, maka janganlah kamu bertaklid kepadaku. (Halil Muslim. Hal.21)
SEKIAN.
No comments:
Post a Comment