A.
Kemandirian Anak Dalam Perspektif Islam
Pendidikan dalam Islam mengajarkan untuk mendidik anak
secara mandiri dengan mengatur anak secara jarak jauh.[1] Ketika
mewasiatkan pada orang tua untuk memelihara dan membimbing pendidikan
anak-anaknya, Islam tidak bermaksud memporak-porandakan jiwa anak dalam jangka
pendek maupun jangka panjang, sehingga hidup dan urusannya hanya dipikirkan,
diatur dan dikelola oleh kedua orang tuanya.
Memang kedua orang tualah yang bekerja banting tulang demi hidup dan masa depan anak-anaknya yang pada akhirnya anak menjadi beban tanggungan orang tua, akan tetapi tujuan utama islam adalah mengontrol perilaku anak supaya tidak terbawa oleh arus menyimpang dan keragu-raguan serta upaya membentuk kepribadian yang tidak terombang ambing dalam kehidupan ini.
Memang kedua orang tualah yang bekerja banting tulang demi hidup dan masa depan anak-anaknya yang pada akhirnya anak menjadi beban tanggungan orang tua, akan tetapi tujuan utama islam adalah mengontrol perilaku anak supaya tidak terbawa oleh arus menyimpang dan keragu-raguan serta upaya membentuk kepribadian yang tidak terombang ambing dalam kehidupan ini.
Rasulullah sangat memperhatikan pertumbuhan potensi anak,
baik dibidang sosial maupun ekonomi. Beliau membangun sifat percaya diri dan
mandiri pada anak, agar ia bisa bergaul
dengan berbagai unsur masyarakat yang selaras dengan kepribadiannya. Dengan
demikian, ia mengambil manfaat dari pengalamannya, menambah kepercayaan pada
dirinya, sehingga hidupnya menjadi bersemangat dan keberaniannya bertambah. Dia
tidak manja, dan kedewasaan menjadi ciri khasnya.[2]
Karena pada akhirnya nanti masing-masing individulah yang
di mintai pertanggung jawaban atas apa yang di perbuatnya di dunia. Firman
Allah yang termaktub dalam Al-Quran surat Al- Mudasir ayat 38 menyebutkan:
كُلُّ
نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“tiap-tiap
diri bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya”.[3]
Selanjutnya dalam surat Al-Mukminun ayat 62 disebutkan:
وَلَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَلَدَيْنَا كِتَابٌ
يَنطِقُ بِالْحَقِّ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“ kami tiada
membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi kami ada
kitab yang berbicara benar, dan mereka telah dianiaya”.[4]
Dari ayat tersebut menjelaskan bahwa individu tidak akan
mendapatkan suatu beban diatas kemampuannya sendiri tetapi Allah Maha Tahu
dengan tidak memberi beban individu melebihi batas kemampuan individu itu
sendiri. Karena itu individu dituntut untuk mandiri dalam menyelesaikan
persoalan dan pekerjaannya tanpa banyak tergantung pada orang lain. Abdullah menuturkan
beberapa contoh tentang inti pandangan Islam terhadap pendidikan anak dengan
didukung oleh berbagai bukti dan argumentasi. Beliau mengatakan bahwa
kemandirian dan kebebasan merupakan dua unsur yang menciptakan generasi muda
yang mandiri.[5]
Keduanya merupakan asas bangunan Islam. Rasulullah membiasakan anak untuk
bersemangat dan mengemban tanggung jawab. Tidak mengapa anak disuruh
mempersiapkan meja makan sendirian. Ia akan menjadi pembantu dan penolong bagi
yang lainnya. Daripada anak menjadi pemalas dan beban bagi orang lain.[6]
Rasulullah bersabda: “bermain-mainlah dengan anakmu selama seminggu,
didiklah ia selama seminggu, temanilah ia selama seminggu pula, setelah itu
suruhlah ia mandiri”. (HR. Bukhari)[7]
Dari hadits tersebut menunjukkan bahwa orang tua mempunyai
andil yang besar dalam mendidik kemandirian anak. Ada upaya-upayayang harus
dilakukan orang tua ketika menginginkan anak tumbuh mandiri. Dan upaya tersebut
harus dilakukan setahap demi setahap agar apa yang diharapkan dapat terwujud.
Dalam Islam, subtansi pembinaan adalah ajaran islam itu sendiri. Secara garis besar
ada beberapa bidang materi pendidikan
Islam, seperti aqidah, ibadah dan akhlak.[8]
Untuk mengetahui dengan jelas materi pembinaan anak
menurut Islam, berikut akan dijelaskan beberapa materi pembinaan anak.
B.
Pendidikan Aqidah
Aqidah merupakan materi pembinaan anak dalam Islam. Kata
“aqidah” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yang berarti pengikat. Aqidah merupakan
kepercayaan penuh kepada Allah SWT dengan segala sifatnya dan ia merupakan
pembeda antara orang mukmin dan orang kafir.[9] Hasan Al
Banna mengatakan: “aqidah Islam adalah landasan atau asas kepercayaan dimana
diatasnya dibina iman yang mengharuskan hati meyakininya. Membuat jiwa menjadi
tentram, bersih dari kebimbangan dan keraguan menjadi sendi pokok bagi
kehidupan setiap manusia”.[10]
Pendidikan aqidah bagi anak.seperti yang telah kita
ketahui bahwasannya aqidah Islam adalah sebagai berikut :
1.
Beriman
kepada Allah
2.
Beriman
kepada para malaikat
3.
Beriman
kepada kitab-kitab Allah
4.
Beriman
kepara para rasul
5.
Beriman
kepada hari akhir
6.
Beriman
kepada qadha’ dan qadar yang baik maupun yang buruk
Dan tentunya pendidikan aqidah ini lebih baik
ditanamkan sedari kecil kepada anak-anak kita, karena fase anak-anak itulah
kita harus memulai mengenalkan akan aqidah, bahwasannya setiap anak dalam
kelahirannya mengakui bahwa Allah adalah Tuhannya sebagai mana firman Allah
Ta'ala :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ
بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا
"Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman) ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Betul
(Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)." (QS. Al Α’raf: 172)
Adalah salah satu bagian dari karunia Allah SWT pada
hati manusia bahwa Dia melapangkan hati untuk menerima iman di awal
pertumbuhannya tanpa perlu kepada argumentasi dan bukti yang nyata, dan kita
sebagai orang tua perlu membuat suasana lingkungan
yang mendukung dan positif, memberi teladan pada anak, banyak
berdoa untuk anak, dan hendaknya kita tidak melewatkan kejadian sehari-hari
melainkan kita menjadikannya sebagai sarana penanaman pendidikan baik itu pendidikan
aqidah maupun pendidikan lainnya.
Jadi aqidah merupakan landasan atau asas kepercayaan yang
ditanamkan kedalam jiwa seseorang sebagaimana yang telah dicontohkan oleh
Lukmanul Hakim ketika mendidik putranya yang telah digambarkan dalam Al-Quran
surah Lukman ayat:13
وَإِذْ
قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“dan ingatlah ketika Lukman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “ hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar”. (QS. Lukman: 13)[11]
Ayat diatas menunjukkan aqidah merupakan landasan utama
dimana ditegakkan ajaran Islam. Dalam materi ini anak dibina dan ditanamkan
rasa keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT. Dengan menjelaskan dalil-dalilnya.
Apabila para ayah dan ibu terus berusaha membangkitkan
dan mencerahkan fitrah makrifatullah dan keyakinan tentang Tuhan dalam
diri sang anak, niscaya nilai-nilai spiritual dan keutamaan akhlaknya menjadi
hidup.[12]
Keyakinan tentang adanya Allah dan Pencipta yang kita
wujudkan dalam bentuk amal perbuatan, akan senantiasa menjaga sang anak dari
perbuatan dosa dan menyimpangan. Dan setiap kali keyakinan tersebut menguat,
penjagaan diri sang anak pun akan menguat pula.
Di antara tugas terpenting para orang tua terhadap
anak-anaknya adalah mengajarkan kewajiban agama dan amal ibadah. Semua itu
harus diajarkan sebelum sang anak memasuki masa baligh. Semasa itu ia
harus diajari cara mempraktikkan amal ibadah. Itu dimaksudkan agar pada masa baligh
dan seterusnya ia tidak mengalami kesulitan melakukannya.
Mengajarkan Al-Quran dan hadits Nabi SAW serta riwayat
para imam maksum, juga merupakan tugas penting dan berpengaruh besar terhadap
pendidikan agama sang anak. Hal lain yang patut diperhatikan orang tua adalah
bahwa sang anak memiliki jiwa yang lembut dan sangat sensitif sehingga segenap
bentuk motivasi dan perasaan kasih sayang menjadi sangat berarti baginya.
Sebaliknya, sikap keras dan pelimpahan tugas-tugas yang berat, dalam waktu
singkat akan menjadikan jiwa dan mental sang anak melemah, yang pada gilirannya
akan menyebabkan semangat dan kecenderungan dirinya berkurang.
C.
Pendidikan Ibadah
Selain materi aqidah, juga diberikan materi ibadah.
“Ibadah adalah perbuatan untuk manyatakan bakti kepada Allah SWT, atau untuk
menunaikan segala kewajiban yang diperintahkan Allah SWT dengan
sungguh-sungguh”.[13]
Materi ini menerangkan cara-cara beribadah. Terkadang
menggunakan metode demonstrasi dalam mempraktekkan cara-cara melaksanakan
ibadah, seperti wudhu’, cara shalat dan lain sebagainya. Dengan materi ini
diharapkan anak akan menjadi orang yang taat beribadah serta mematuhi yang
diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang agama.
Mendidik anak pada hakikatnya merupakan usaha nyata dari
orang tua dalam rangka mensyukuri karunia dan mengemban amanat Allah SWT. Oleh
karena itu pendidikan agama yang diterima merupakan hak anak. Dengan menyadari
hakikat anak, orang tua diharapkan akan menyadari kewajiban dan tanggung
jawabnya. Berkenaan dengan hal ini, M. Fauzil Adhim mengklasifikasikan
pendidikan ibadah bagi anak sesuai umur dan perkembangan jiwa anak sebagai
berikut:
1. Sejak dalam kandungan selama kurang lebih 9 bulan.
Kebutuhan yang paling penting dalam masa ini adalah kerahiman (kasih sayang
tulus) dari ibunya.
2. Selanjutnya adalah masa lahir sampai usia dua tahun, masa
ini umum disebut masa bayi. Pada masa ini, anak memerlukan kasih sayang dan
perhatian yang melibatkan langsung dirinya untuk menuju kehidupan berikutnya.
Ibu diharapkan membimbingnya untuk mengenalkan lingkungan sosialnya.
3. Berikutnya adalah masa thufulah atau masa
kanak-kanak, yang berlangsung antara usia dua sampai tujuh tahun. Pada masa
ini, anak butuh dikembangkan potensinya seoptimal mungkin, karena sedang
aktif-aktifnya, cerdas-cerdasnya, peka-pekanya, gemes-gemesnya bahkan
cerewet-cerewetnya. Inilah masa yang tepat untuk memberikan dasar-dasar tauhid
anak melalui sentuhan dzauq (rasa), sehingga nantinya akan lebih
merangsang anak untuk memiliki tauhid yang aktif, kedalaman tauhid yang
nantinya akan mendorongnya untuk bergerak melakukan sesuatu yang baik.
4. Kemudian usia tujuh tahun, dimana anak memasuki tahap
perkembangan tamyiz atau kemampuan awal membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk serta benar dan salah melalui penalarannya. Pada tahap ini anak
perlu mendapatkan pendidikan pokok syariat (ibadah) yang sifatnya mahdhah
maupun ghairu mahdhah, disamping tentunya pendidikan tauhid, pendidikan
akhlak dan lain sebagainya secara simultan yang berlangsung hingga usia 12
tahun.[14]
Dari periodisasi dan klasifikasi diatas, maka orang yang
paling bertanggung jawab dalam menyiapkan anak menuju taklif adalah orang tua.
Sebagai realisasi tanggung jawab orang tua sebagai pendidik dan menyampaikan
materi-materi pokok pendidikan bagi anak, ada beberapa aspek yang menjadi
urutan prioritas utama.[15]
Prof. Dr. Nashih Ulwan menjelaskan bahwa dengan adanya
pendidikan agama (ibadah) yang diberikan oleh orang tua sesuai dengan masa
pertumbuhannya tersebut, maka ketika anak telah tumbuh dewasa akan terbiasa
melakukan dan terdidik untuk mentaati Allah, melaksanakan hak-Nya, bersyukur
kepada-Nya, kembali kepada-Nya dan berserah diri kepada-Nya.[16]
Berkaitan dengan hal ini, Zakiah Daradjat memberikan
argumen, bahwa apabila anak tidak terbiasa melaksanakan ajaran agama terutama
ibadah dan tidak pula dilatih atau dibiasakan melaksanakan hal-hal yang disuruh
Tuhan dalam kehidupan sehari-hari seperti shalat, puasa, berdo’a dan lain-lain
maka, pada waktu dewasanya nanti ia akan cenderung kepada acuh tak acuh, anti
agama, atau sekurang-kurangnya ia tidak akan merasakan pentingnya agama bagi
dirinya. Sebaliknya, bila anak mendapat latihan dan pembiasaan agama, pada
waktu dewasanya nanti akan semakin merasakan kebutuhan akan agama.[17]
Sebagai wujud dari tanggung jawab orang tua dalam
mendidik dan menananmkan nilai-nilai ibadah kepada anak-anaknya, ada beberapa
aspek yang sangat penting untuk diperhatikan orang tua. Sebagaimana diungkapkan
Chabib Toha berdasarkan Al-Quran surah Lukman ayat 17:
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ
عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ
الْأُمُورِ
“hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan-perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.
Pendidikan shalat dalam ayat diatas tidak hanya terbatas
tentang kaifiyat shalat saja. Mereka harus mampu tampil sebagai pelopor
amar ma’ruf nahi mungkar serta jiwanya teruji menjadi orang yang sabar.
Berkenaan dengan penanaman nilai-nilai dibalik pendidikan
ibadah bagi anak. Harun Nasution menjelaskan, bahwa manusia dalam Islam,
tersusun dari dua unsur, yaitu unsur jasmani dan rohani.[18] Tubuh
manusia berasal dari materi dan mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya
material. Sedangkan rohani manusia bersifat immateri dan mempunyai kebutuhan
spiritual. Pendidikan jasmani maupun rohani harus mendapatkan porsi seimbang.
Oleh karena itu, sangatlah penting supaya rohani yang ada dalam diri manusia
dilatih secara baik seperti halnya badan manusia yang dilatih dengan olahraga
sehingga terwujud jasmani dan rohani yang sehat.
Dalam islam ibadahlah yang memberikan latihan rohani yang
diperlukan manusia itu.[19] Semua
ibadah yang ada dalam Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya
bertujuan membuat rohani manusia senantiasa tidak lupa pada Tuhan, bahkan
senantiasa dekat kepada-Nya. Keadaan senantiasa dekat kepada Tuhan sebagai Zat
yang maha suci dapat mempertajam rasa kesucian seseorang. Rasa kesucian yang
kuat dapat menjadi rem bagi hawa nafsu untuk melanggar nilai-nilai moral,
peraturan dan hukum yang berlaku dalam memenuhi keinginannya.
Sementara itu mengenai materi pendidikan ibadah secara
menyeluruh oleh para ulama telah dikemas dalam sebuah disiplin ilmu yang
dinamakan ilmu fiqh atau fiqh Islam.[20] Fiqh
Islam itu tidak hanya membicarakan hukum dan tata cara ibadah shalat, melainkan
meliputi pembahasan tentang puasa, zakat, haji, tata ekonomi Islam (muamalat),
hukum waris (faraid), tata pernikahan (munakahat), tata hukum
pidana (jinayat dan hudud), tata peperangan (jihad), makanan
sampai dengan tata negara (khilafah). Pendek kata, seluruh tata pelaksanaan
mentaati perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya terbahas secara lengkap
didalamnya.
Oleh karena itu cara peribadatan menyeluruh sebagaimana
termaktub dalam fiqh Islam itu hendaklah diperkenalkan sejak dini dan sedikit
demi sedikit dibiasakan dalam diri anak, agar kelak mereka menjadi insan yang
benar-benar taqwa, yakni insan yang taat menjalankan segala perintah agama dan
taat pula dalam menjauhi larangannya.
Pengalaman anak terhadap fiqh Islam hendaklah diawali
dengan pengenalan ilmunya. Ia perlu mendapatkan bimbingan orang tua yang
benar-benar tahu, sehingga kelak peribadatan yang diamalkan benar-benar
berdasar pada syariat Islam, bukan berdasar perkiraan semata. Ibadah sebagai
realisasi dari aqidah Islamiah harus tetap terpancar dan teramalkan dengan baik
oleh setiap anak. Beribadah adalah kewajiban kepada Allah SWT seperti
menganjurkan kebaikan, mencegah kemungkaran, berbudi pekerti baik, menolong
yang teraniaya, melawan nafsu amarah dan berbagai perbuatan baik lainnya.
Sebelum usia baliqh, seorang anak harus sudah memiliki
kesiapan yang cukup untuk melaksanakan taklif (tugas dan kewajiban)
agama. Karena itu, pada usia tersebut, ia harus diajarkan bagaimana cara
melaksanakan kewajiban agama, seperti shalat, puasa, dan ibadah lainnya. Selain
itu, ia juga harus diberi penjelasan tentang segenap nilai-nilai penting yang
berkaitan dengan peribadahan.
Berdasarkan riwayat dari para imam maksum, saking
pentingnya mengajarkan taklif kepada sseorang anak (seperti ibadah shalat),
para orang tua bahkan (bila perlu) dibolehkan untuk melakukannya dengan cara
paksa.
Rasulullah SAW bersabda: “perintahkanlah anak-anakmu
melaksanakan shalat ketika berumur tujuh tahun. Dan jika ketika mencapai umur
sepuluh tahun, berikanlah peringatan (teguran keras) kepada mereka dan pisahkan
(berilah jarak) tempat tidur mereka satu sama lain.” (Mizan Al-Hikmah, Juz
X, hal. 722)[21]
Dalam riwayat lain yang berkenaan dengan melatih puasa
seorang anak yang masih belum baliqh, imam al-Shadiq berkata:
“kami memerintahkan anak-anak kami berpuasa ketika mencapai usia tujuh
tahun, berdasarkan kemampuan waktu mereka untuk berpuasa dalam sehari. Boleh
setengah hari, atau lebih, atau kurang. Yang jelas, mereka boleh berbuka ketika
rasa haus dan lapar menimpa mereka. Ini dilakukan agar mereka terbiasa berpuasa
dan terasah kemampuannya. Ketika anak-anak anda mencapai umur sembilan tahun,
desaklah mereka agar berpuasa. Namun mereka boleh berbuka bila rasa haus dan
lapar menimpa mereka”. (Mizan al-Hikmah, juz X, hal. 722)”[22]
Berbagai riwayat dari para imam suci juga amat menekankan
pendidikan Al-Quran dan hadits. Dikatakan didlamnya bahwa salah satu hak anak
atas ayahnya adalah mendapatkan pengajaran Al-Quran.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata: “hak anak
atas ayah adalah memberikan nama yang baik untuknya, mendidiknya dengan
sebaik-baiknya dan mengajarkan Al-Quran.” (Nahj al-Balaghah, hikmah ke-399)
Dalam riwayat lain, Imam al-Shadiq berkata: “sebelum
pengikut Murji’ah (dan golongan lain) mempengaruhi anak anda, kenalkanlah ia
dengan hadits (Nabi SAW dan para imam) serta ajarilah riwayat-riwayat Islam
kepadanya.” (Mizan al-Hikmah, juz X, hal. 72)
C.
Pendidikan Akhlak
Dilihat dari sudut bahasa, perkataan akhlak berasal dari
bahasa Arab, bentuk jama’ dari khulq. Khulq di dalam Kamus al-Munjid
berarti budi pekerti perangai, tingkah laku atau tabi’at.[23] Di
dalam Da’iratul Ma’arif dikatakan: “akhlak adalah sifat-sifat manusia yang
terdidik”.
Akhlak merupakan tabi’at seseorang yang dapat
mempengaruhi segenap perkataan dan perbuatannya dalam menjalani kehidupan. Jika
akhlak baik, maka baiklah gerak-geriknya, begitu juga sebaliknya.
Sejalan dengan pentingnya penyampaian materi akhlak dalam
pembinaan anak, Rasulullah juga diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia
sebagaimana diterangkan dalam salah satu hadits sebagai berikut: “Rasulullah
SAW bersabda: sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR.
Ahmad bin Hanbal).[24]
Berdasarkan hadits di atas, orang tua memberikan pedoman
cara-cara bergaul yang baik terhadap anak yang sesuai menurut ajaran Islam.
Pada dasarnya materi akhlak ini materi yang sangat penting dalam pembinaan
moral anak.
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam.
Ia dengan takwa merupakan ‘buah’ pohon Islam yang berakarkan aqidah, bercabang
dan berdaun syari’ah. Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah
qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah.[25]
Diantaranya adalah seperti hadits di atas, hadits lainnya: “mukmin yang
paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya”. (HR. Tarmizi).
Dan, akhlak Nabi Muhammad, yang diutus menyempurnakan akhlak manusia itu,
disebut akhlak Islam atau akhlak Islami, karena bersumber dari wahyu Allah yang
kini terdapat dalam Al-Quran yang menjadi sumber utama agama dan ajaran Islam.
Dikalangan umat Islam masalah yang penting ini sering
kurang digambarkan secara baik dan benar kalau dibandingkan dengan penggambaran
tentang syari’at, terutama yang berhubungan dengan shalat, sehingga, akibatnya,
karena tidak mengenal butir-butir akhlak menurut agama Islam, dalam praktik,
tingkah laku kebanyakan orang Islam tidak sesuai dengan akhlak Islami yang
disebut dalam Al-Quran dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad dalam kehidupan beliau sehari-hari.[26] Suri
teladan yang diberikan Rasulullah selama hidup beliau merupakan contoh akhlak
yang tercantum dalam Al-Quran.
Allah mengutus Rasulullah SAW untuk menyempurnakan akhlak
manusia. Pendidikan akhlak mengutamakan nilai-nilai universal dan fitrah yang
dapat diterima oleh semua pihak. Beberapa akhlak yang dicontohkan Nabi SAW di
antaranya adalah menyenangi kelembutan, kasih sayang, tidak kikir dan keluh
kesah, tidak hasud, menahan diri dari marah, mengendalikan emosi dan mencintai
saudaranya. Akhlak yang demikian perlu diajarkan dan dicontohkan orang tua
kepada anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari.[27] Allah
berfirman:
إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًاۤإِذَا
مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًاۤوَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًاۤإِلَّا
الْمُصَلِّينَۤالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَۤ
“sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan
ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali
orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan
shalatnya”. (QS. Al-Maarij: 19-23).
Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya Allah SWT
menyenangi kelembutan dalam semua persoalan”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda: “tidak beriman salah seorang di
antara kalian sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya
sendiri. (HR. Bukhari). Hadits selanjutnya: “jauhilah oleh kalian hasud
karena hasud itu akan memakan kebaikan seperti halnya api memakan kayu bakar”. (HR.
Abu Daud). Dalam hadits lainnya Rasulullah bersabda: “barang siapa yang
menahan diri dari amarah dan dapat mengendalikan emosi, niscaya Allah akan
memanggilnya pada hari kiamat lebih dulu daripada makhluk lain seingga
diberitahukan-Nya untuk memilih bidadari mana saja yang dikehendakinya”. (HR.
Abu Daud). Rasulullah SAW bersabda: “bukan termasuk golonganku orang yang
menipu”. (HR. Abu Daud).
Ketika orang tua bersama anak di rumah, manfaatkanlah
untuk mengajarkan akhlak dengan contoh teladan atau mendidiknya. Akhlak Islam
melarang kita berbuat sombong dan angkuh, membaguskan budi pekerti, bertobat,
menyucikan diri dan memperindah tingkah laku.
Tanggung jawab orang tua di antaranya adalah memperbaiki
akhlak anaknya. Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (bersih) kemudian
lingkungannya yang akan mengotori anak tersebut. Oleh karena itu, orang tua
wajib menyediakan lingkungan sosial yang baik untuk menumbuhkan akhlak Islam.
Orang tua selain menjadi contoh teladan akhlak Islam juga mencarikan anak teman
yang saleh dan pendidikan yang baik. Media yang menyesatkan perlu dihindari
dari anak, begitu juga dengan pergaulan. Mengajarkan akhlak yang efektif kepada
anak adalah dengan memberikan contoh akhlak yang baik.[28]
Islam mengajarkan kepada kita bahwa dalam mendidik anak
harus menjauhkan anak dari tempat permainan yang tidak baik, hal-hal yang
batil, tempat hiburan, mendengarkan suara-suara keji dan buruk, dan pembicaraan
yang tidak baik. Apabila anak sudah terbiasa dan kecanduan dengan yang tidak
baik maka norma-norma pendidikan akan teracuni dan hal ini bisa terbawa hingga
masa dewasa.
Ajarilah anak dengan berbagai adab Islami seperti makan
dengan tangan kanan, mengucapkan basmalah sebelum makan, menjaga kebersihan,
mengucapkan salam dan lain-lain, begitu pula dengan akhlak, tanamkanlah kepda
mereka akhlak-akhlak mulia seperti berkata dan bersikap jujur, berbakti kepada
orang tua, dermawan, menghormati yang lebih tua dan sayang kepada yang lebih
muda, serta beragam akhlak yang lainnya.
Hendaknya anak sedini mungkin diperingatkan dari beragam perbuatan yang
tidak baik atau bahkan diharamkan seperti merokok, judi, minum khamr, mencuri,
mengambil hak orang lain, zhalim, durhaka kepada orang tua dan segenap
perbuatan dosa lainnya.
Setiap anak yang
tumbuh dan berkembang, sebelum ia mengalami proses pendidikan di sekolah,
sejatinya berasal dari rumah tempat ia menjalani hari-harinya bersama keluarga.
Karena itu orang tualah yang memegang peran yang sangat penting dalam hal
pendidikan anak, walaupun ada beberapa kondisi yang menyebabkan anak tidak bisa
mendapatkan pendidikan dari orang tuanya, seperti anak yatim piatu semenjak
lahir, anak yang dibuang oleh orang tuanya dan lain-lain. Tetapi dalam kondisi
normal, orang tua merupakan pendidik anak yang pertama dan utama. Bahkan dalam
Al-Qur’an serta Sunnah banyak sekali ditegaskan tentang pentingnya mendidik
anak bagi para orang tua. Anak yang terdidik dengan baik oleh orang tuanya akan
tumbuh menjadi anak yang pandai menjaga dirinya dari pengaruh buruk lingkungan,
karena ia telah dibekali oleh ilmu tentang hidup dan kehidupan yang di dalamnya
terdapat ilmu yang paling bermanfaat yaitu ilmu agama.
Banyak sekali
sekolah-sekolah yang memfasilitasi kita untuk menjadi seperti apa yang kita
cita-citakan walaupun tidak selalu terwujudkan, ingin menjadi dokter ada
sekolahnya, ingin menjadi guru juga ada sekolahnya begitupun dengan profesi
lain. Tetapi adakah sekolah untuk menjadi orang tua? Padahal setinggi apapun
karier kita dalam profesi tertentu, sejatinya kita akan tetap menjalani fitrah
yang sama yaitu menjadi orang tua, walaupun tidak semua orang ditakdirkan Allah
SWT untuk dapat memiliki anak, maka bersyukurlah bagi kita yang diamanahi Allah
SWT anak-anak yang menjadi penyejuk mata dan harapan di masa yang akan datang.
Setiap orang tua
harus senantiasa belajar tentang ilmu mendidik anak karena tidak ada sekolah
khusus untuk menjadi orang tua. Tetapi banyak sekali yang dapat memfasilitasi
hal itu jika kita bersungguh-sungguh ingin belajar menjadi orang tua yang baik,
terutama di zaman ini dimana perkembangan ilmu dan teknologi begitu cepat dan
mampu menembus ruang dan waktu. Orang tua yang memiliki bekal ilmu dalam
mendidik anak akan sadar tentang pentingnya pendidikan anak sejak usia dini
bahkan sejak anak masih berada di dalam rahim ibu, bahkan menurut penelitian,
kondisi ibu saat hamil sangat mempengaruhi akhlak anak, bila ibu mampu menjaga
diri dari makanan-makanan yang tidak halal dan juga perilaku-perilaku yang
tidak terpuji insya Allah anak yang lahir akan menjadi anak yang sholeh. Karena
tidak ada bayi yang terlahir kecuali suci, namun ia mencontoh dari orang tua,
tontonan televisi/media, guru dan lingkungan pergaulannya.
Selain faktor kondisi
ibu, ada hal lain yang tak kalah pentingnya dalam pendidikan anak sejak dini
yaitu peran ayah yang merupakan patner ibu dalam membentuk generasi yang
tangguh dalam menghadapi tantangan zaman. Sejak anak masih berada dalam
kandungan, peran suami dalam memberi dukungan serta kasih sayang pada istrinya
dapat mempengaruhi kondisi kehamilan, bayi yang berada dalam kandungan ibu pun
harus diajak berinteraksi oleh ayah dan ibunya sebagai tahap awal dalam
mendidik anak. Selain itu memperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an juga terbukti
dapat meningkatkan kecerdasan anak terutama kecerdasan emosi dan spiritual.[29]
Referensi
[1]. Al-Husaini
Abdul Majid Hasyim. Pendidikan Anak Menurut Islam. (Bandung: Sinar Baru
Algesindo. 1994). Hal. 79
[2]. Jamal
Abdurrahman. Cara Nabi Menyiapkan Generasi ( Surabaya: CV Fitrah Mandiri
Sejahtera. 2006). Hal. 212
[3].Departemen
Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya. (Bandung: CV Penerbit Diponegoro. 2004).
[4]. Ibid
[5] . Al-Husaini
Abdul Majid Hasyim, Pendidikan Anak.........hal. 79
[6] . Jamal Abdurrahman,
Cara Nabi...........hal. 215
[7] . As- Sayid
Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir Al-Manar (Jakarta: Pustaka Hidayah. 1993).
Hal. 298
[8]. Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Jilid
III (Beirut: Darun SJilid III (Beirut: Darun Shadirun, t,t), hal 413
[9] Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral Di
Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972) hal. 132
[10] Abu Ahmadi dan Noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan
Islam. Cet. I, ( Jakarta: Bumi Aksara 1991), hal. 240.
[11] . Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung:
Gema Risalah Press, 1989), hal. 655
[12] . Banu
Garawiyan, Memahami Gejolak Emosi Anak. Cet. III, (Bogor: Cahaya, 2003)
hal. 113
[13] Departemen P
dan K. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990),
hal. 467
[14]. M. Fauzil
Adhim. Mendidik Anak Menuju Taklif. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hal. 16
[15] M. Chabib
Toha. Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), hal. 105
[16] Abdullah
Nashih Ulwan. Tarbiyat al-Aulad fi al-Islam, diterjemahkan oleh: Drs.
Jamaluddin Miri, Lc dengan judul Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2002), hal. 167-168
[17] Zakiah
Daradjat. Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 80
[18] Harun
Nasution. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press,
1985), hal. 36
[19] Ibid..............hal. 37
[20] M. Nippon
Abdul Halim. Anak Shalih Dambaan Keluarga. (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2001), hal. 102
[21] Banu Garawiyan, Memahami Gejolak..................hal.
116
[22] Banu Garawiyan, Memahami Gejolak..................hal.
117
[23] Abu Daud.
(Dalam Fauzi Saleh, Lc. MA). Konsep Pendidikan Dalam Islam: “Pendidikan
Keluarga Dan Pengaruhnya Terhadap Anak”. Cet. I (Banda Aceh: Yayasan PeNA,
2005), hal. 28
[24] Departemen
Agama RI, Al-Quran dan................hal. 635
[25] Prof. H. Mohammad
Daud Ali, SH. Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1998), hal. 348
[26] Ibid................hal.
349
[27] DR. H. Irwan
Prayitno, Psi, Msc dan Datuak Rajo Bandaro Basa. “Anakku Penyejuk Hatiku”.
(Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), hal. 493
[28] Ibid.........................hal. 534
[29]. Lastri
Yanuar. “Penanaman Nilai Akhlak dan Moral Pada Anak”. (Online). http://www.dakwatuna.com/2013/05/08/32891/penanaman-nilai-akhlak-dan-moral-pada-anak/#ixzz2W6iPvn9h.
Diakses 13 Juli 2013.
salam kenal terim kasih telah sher artikel ..
ReplyDeleteArtikelnya sangar menarik dan mudah dipahami... oya klo tempat yang jual kaos kaki bayi grosir di manaya ....
mohon pencerahnnya
Barakallah ilmunya.trmksh
ReplyDelete