SUATU ketika kami duduk menyimak pelajaran Asybah Wan Nadhair karangan Imam Suyuthy yang diasuh oleh Syaikh Ali Jum’ah, seorang ulama syafi’iyah yang waktu itu masih menjabat sebagai Mufti Mesir. Ketika sesi tanya jawab, ada yang bertanya; Bagaimana harusnya kita menuntut ilmu dengan perbedaan mazhab yang timbul? Syaikh menjawab: “Bagi penuntut ilmu sebaiknya fokus mempelajari satu mazhab agar ia mengetahui dalil- dalil mazhab secara utuh.” Pada lain kesempatan, dalam pengajian kitab Bidayatul Mujtahid karya Imam Ibn Rusyd Al Hafid bersama Syaikh Ahmad Thaha Rayyan yang juga dijuluki Maliki Shaghir dan secara normatif saat ini menjadi mufti malikiah di dunia Islam mengungkapkan hal serupa. Menurut beliau penuntut ilmu harus utuh mempelajari satu mazhab, agar ia menjadi muhaqqiq dalam mazhab tersebut. Semua pernyataan dapat diterima ataupun ditolak. Kaidah ini sudah jamak diketahui. Meski demikian, ungkapan di atas bukan sebatas ucapan tersendiri dari Ulama Al Azhar, namun dipraktikkan pula dalam sistem akademik universitas Islam paling tua di dunia itu. Bagi pelajar ilmu fikih, Al Azhar mewajibkan mahasiswanya untuk memilih salah satu mazhab imam yang empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) yang nanti akan dipelajari di bangku kuliah. Dalam mempelajari ilmu Ushul pun Al Azhar memisahkan antara Ushul Fikih Jumhur dan Ushul Fikih Hanafi. Pengikut mazhab jumhur akan mempelajari kitab Nihayat Sul karya Imam Isnawi, syarah Minhaj al Wushul karya Imam Baidhawi, sedangkan Mazhab Hanafi akan mempelajari syarah Talwih Ala Taudhih karya Imam Shadr Syariah Taftazany. Pengelompokan ini bertujuan membimbing seorang murid untuk mengerahkan kemampuan penuh dalam mempelajari mazhab fikih tertentu.
Bersikap terbuka
Saat mempelajari Perbandingan Mazhab (Muqaranah), kita diajarkan untuk bersikap terbuka. Tidak ada kemestian harus menguatkan satu pendapat selama bisa memberi dalil atas pendapat yang lain. Namun dengan kapasitas mahasiswa Al Azhar yang belum mencapai derajat tarjih (menguatkan satu pendapat atas pendapat lain), dosen akan memberikan pendapat tertentu untuk dikuatkan beserta alasannya. Selain untuk keseragaman dalam menjawab soal yang diuji nantinya dan untuk memberikan jawaban atas perkara baru yang muncul dewasa ini. Perbandingan mazhab lebih ditekankan kepada sikap terbuka dalam menyikapi polemik fikih yang berkembang. Sedangkan di sisi lain, Al Azhar tetap mewajibkan anak didiknya untuk fokus dalam mazhab tertentu. Sepintas, metode ini bisa menghindari klaim paling benar yang timbul akibat fanatisme buta pengikut mazhab tertentu. Terkadang kita terlalu cepat mempelajari kitab kitab perbandingan mazhab sehingga lupa akan akarnya. Kita belum mempelajari jalan yang ditempuh masing-masing mazhab untuk memberikan dalil atas satu hukum, lalu kita mengatakan bahwa pendapat ini benar dan yang lain salah. Fenomena seperti ini bisa mengakibatkan pendapat kita akan bertentangan antara ragam objek hukum karena kita tidak mengikuti jalur mazhab yang telah digariskan. Pada dasarnya imam Mazhab sendiri memiliki metode yang berbeda dalam menetapkan hukum, selain sumber dasar yang disepakati oleh seluruh imam mazhab. Jika kita terlalu cepat menafikan kekayaan satu mazhab untuk mengaduknya dalam satu mazhab baru (mazhab tarjih), sama artinya kita memandang sebelah mata atas usaha mujtahid mazhab semisal Imam Nawawi, Imam Rafii atau Ibn Hajar Al Haitami yang kita kenal dalam mazhab Syafii. Dengan segenap ilmu yang mereka miliki, mengapa mereka masih ikut mazhab Syafii. bahkan memberikan tahqiq (penguatan) dan syarah atas mazhab Syafii. Secara logika, bukankah mudah saja bagi mereka untuk mengarang kitab fikih antar mazhab dengan kekayaan intelektual yang mereka miliki. Hendaknya kita tidak menjadi analogi orang orang yang digambarkan di dalam Alquran: “Setiap satu kaum masuk ke neraka, mereka akan mengutuk orang sebelum mereka” (QS. Al-A’raf: 38). Apakah dengan pengetahuan baru yang kita miliki dengan kebenaran yang masih relatif, lantas kita melaknat dan menimpakan kesalahan kepada orang sebelum kita? Adanya pihak yang tersudut dalam penerapan hukum fikih di Aceh, lalu melemparkan kesalahan kepada kalangan dayah yang dianggap menjadi tokoh intelektual diskriminasi fikih di Aceh, beberapa kalangan mewacanakan fikih antarmazhab sebagai solusinya. Usaha ini bisa dibilang sebagai teori yang brilian, namun akan terbentur ketika diterapkan. Karena masing-masing mazhab bisa menguatkan pendapatnya sendiri jika kita mengkaji lebih dalam. Sebaiknya kekuatan mazhab Syafii yang sudah berakar di Aceh tidak perlu diganggu gugat, tentunya selama mengandung kebenaran dalam cara pengambilan hukum, menggunakan dalil mazhab yang benar dan sesuai dengan kondisi masyarakat, bukan copy-paste kitab agar terkesan Arab.
Tak perlu diubah
Menurut hemat penulis, cara beragama masyarakat yang sudah adem-ayem dengan Mazhab Syafii tidak perlu diubah. Bahkan menawarkan jalan baru untuk masyarakat seperti ini dapat dianggap sebuah provokasi. Jika selama ini kita menganggap tikus yang membuat kekacauan, mengapa pula kita harus membakar rumah. Marilah kita menjaga etika khilaf. Namun perlu diperhatikan dengan benar, kebiasaan masyarakat untuk menyalahkan pendapat lain --selama diambil dari jalur yang benar-- juga mesti dihindari. Kekayaan fikih adalah khazanah Islam yang harus terus kita pelihara. Jangan sampai ada klaim selain mazhab kami tidak ada yang benar. Toh, dalam Mazhab Syafii sendiri memiliki pendapat yang berbeda. Perkara-perkara keagamaan kita kembalikan kepada para ahlinya, yakni orang-orang yang telah menempuh jalur ilmu. Jangan semua pihak hendak menjadi ahli fikih, karena bagi kita masyarakat awam, mengikuti pendapat ulama fatwa lebih selamat ketimbang menalar dengan logika kita yang kadang tidak sesuai dengan metode pengambilan hukum itu sendiri. Penting bagi kita memahami apa pentingnya mazhab dan bermazhab, terkhusus bagi pelajar ilmu agama. Abdul Fattah Al Yafii di dalam Al Tamazhub menyebut dalil ulama empat mazhab bahkan digolongkan sebagai ijma’ bermazhab bagi selain mujtahid. Syaikh Sulaiman Kurdy juga mengamini pendapat tersebut di dalam akhir kitab Al Fawaid Al Madaniyah, atau bisa juga membaca kitab Fawaid Makkiyah karya Syaikh Ahmad Alawy Al Saqqaf. Kaidah yang paling penting diketahui adalah kita tidak mengingkari perkara yang berselisih pendapat ulama di dalamnya, namun kita mengingkari perkara yang sudah diberikan ijma’ (konsensus) ulama. Selama seseorang menggunakan dalil yang benar dalam beramal dan tidak menyalahi konsensus ulama, maka tidak masalah. Mungkin di sini ungkapan “banyak jalan menuju Roma” dapat kita terapkan. Wallahu A’lam.
No comments:
Post a Comment