MENGANGKAT pemikiran historis-psikologis dari Herry Tjahjono dalam artikelnya “Kepemimpinan Orang Kalah” (Kompas, 6/4/2013), menjadi sangat menarik untuk disandingkan dengan kondisi Aceh terkini. Realita politik yang terjadi di Aceh kembali dihadapkan pada konflik yang bersandar pada persepsi historis-psikologis. Sebuah runtutan sejarah yang tiada habis dibicarakan sejak pecahnya konflik 1970-an. Cerita ini pun mengantarkan kita pada sebuah drama baru, “permainan kebijakan” antara pemerintah Aceh dan Jakarta. Polemik bendera dan lambang Aceh tentunya menjadi beberapa isu terhangat dalam pergulatan kebijakan yang seakan menyandera Aceh dalam “lubang hitam” yang tiada ujung. Situasi tersebut mengingatkan kita pada memori de javu konflik terdahulu yang lukanya masih belum kering. Dinamika ini tentu menjadi ‘bom waktu’ bagi rekonstruksi peradaban Aceh ke depan.
Jebakan psikologis
Di balik kisah perdamaian 15 Agustus 2005, melalui MoU Helsinki, Aceh memang sudah mendapatkan sebuah predikat sebagai daerah damai. Kedua belah pihak yang bertikai pun sudah saling berjabat tangan. Namun persoalan terkini, apakah perdamaian Aceh ini hanya merujuk pada situasi dan kondisi yang ril saja? Pada kenyataannya ranah konflik yang terjadi telah terakumulasi pada tataran psikologis kebijakan. Kecamuk psikologis akut yang melanda para elite pemerintah Aceh dan Jakarta telah menciptakan interpretasi berbeda antara kedua belah pihak. Pandangan Jakarta terhadap Aceh atau sebaliknya dapat dipastikan berlainan satu sama lain. Walaupun terlihat saling menjaga sikap, aura pertentangan dan perselisihan, serta kecurigaan akan terus mewarnai dinamika perpolitikan Aceh. Bagi Jakarta, perlawanan yang dilakukan oleh para kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat sebelum perdamaian telah menciptakan ‘syndrom psikologis’ bagi elite-elite Jakarta. Ekspresi “kebakaran jenggot” tentunya akan biasa menghiasi wajah-wajah mereka tatkala berhadapan dengan panas-dinginnya suhu politik Aceh. Sikap reaksional pun berbicara untuk menindaklanjuti ulah-ulah dari “kaum pelawan”. Lihat saja pidato kenegaraan Presiden SBY di Gedung DPR/MPR Senayan pada pada 16 Agustus lalu, yang menegaskan bahwa “Aceh dan Papua adalah bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI”.
Terlepas dari Papua, kalimat ini tentunya menjadi sindiran Jakarta terhadap rengekan Aceh selama ini. Setiap sensasi yang dihadirkan di Aceh pastinya akan membuat Jakarta getar-getir tak karuan. Lain lagi dengan perspektif Aceh, pemerintahan Aceh yang telah dikuasai oleh para eks kombatan tentunya menjadi posisi tawar yang legal terhadap Jakarta dalam menciptakan opini rakyat. Mereka pun memainkan peran masing-masing sesuai dengan pengalaman-pengalamannya saat berhadapan dengan Jakarta. Jika dahulu berperang dengan senjata, maka sekarang mereka berperang dengan palu di “meja kebijakan”. Kenangan perjuangan yang cenderung terpatri dalam sanubari para eks kombatan tentunya menjadi manifesto politik bagi mereka. Selain itu, spirit MoU Helsinki juga menjadi modal tambahan untuk terbentuknya perjuangan baru bagi para eks kombatan dalam menjalankan pengaruh. Mereka pun akan selalu bersikap hati-hati dan defensif demi menjunjung harga diri dan martabat Aceh dari Jakarta. Psikologis inilah yang kemungkinan terus mempengaruhi alam bawah sadar mereka. Ketika kedua belah pihak terlena dalam kenikmatan psikologis, Aceh dapat dipastikan akan menjadi meja pertarungan kebijakan. Bagaimana tidak, saat Pemerintah Aceh terus-menerus menuntut nilai-nilai perjuangan 1970-an yang termaktub dalam MoU Helsinki dan Jakarta juga menuntut nilai-nilai kedaulatan NKRI, ini tentunya akan menemui kebuntuan yang kompleks. Jangan lagi-lagi rakyat Aceh yang menjadi korban dari jebakan konflik psikologis ini. Oleh karena itu, perlu adanya kesepakatan dalam hati masing-masing untuk menciptakan kebijaksanaan yang tepat tanpa intervensi psikologis terhadap persoalan Aceh. Menemukan ujung dari akar permasalahan yang terjadi di Aceh tentunya akan sulit jika keengganan antara Aceh dan Jakarta masih cukup tinggi. Berbagai persoalan yang melanda Aceh silih berganti, haruslah disikapi dengan komunikasi yang bijak antara pemerintah Aceh maupun Jakarta dan bukan malah saling menuntut satu sama lain. Merujuk dengan pemikiran Carl Gustav Jung (1875-1961), seorang psikolog asal Swiss, yaitu ‘sinkronisasi’. Melakukan sinkronisasi tentunya menjadi keharusan untuk merespon kembali komunikasi yang lebih baik antara Aceh dan Jakarta. Mengingat memori silam, komunikasi yang kurang harmonis sebenarnya sudah terlihat sejak MoU Helsinki diimplementasikan menjadi UUPA. Sikap Jakarta yang mengulur-ulur Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) menjadi gambaran terhadap kebijakan setengah hati yang bermanifesto pada ‘kecurigaan’ dan ‘ketakutan’. Begitu juga sikap Pemerintah Aceh yang mengeluarkan kebijakan Qanun Wali Nanggroe dan Qanun Lambang dan Bendera, tentunya sebagai resolusi pembanding terhadap hegemoni dan kekuatan Jakarta. Permasalahan serupan juga pernah terjadi, yaitu pada Pemilukada Aceh 2012 silam. Saat itu, tarik ulur (bargaining) politik antara permainan kebijakan Aceh dan Jakarta sangatlah kuat. Konflik regulasi yang terkait judicial review Pasal 256 tentunya menjadi persoalan serius bagi Aceh, di mana berdampak pada beberapa kali penguluran jadwal pemulikada. Inilah beberapa dari sekian banyak cuplikan “permainan kebijakan” yang mendera Aceh. Kembali lagi, tantangan yang dihadapai Aceh pasca perdamaian hingga pertengahan 2013 masihlah didominasi oleh tingginya eskalasi ketidaksinkronan kebijakan. Segala macam pemikiran pun tercurahkan pada permasalahan ini. Ternyata politik kebijakan lebih penting ketimbang untuk memberdayakan potensi-potensi alam dan kerakyatan yang sebenarnya lebih pantas dipikirkan. Menjadi penghambat
Kemelut Aceh dan Jakarta selama ini, tentunya, bukan tidak mungkin telah menjadi penghambat bagi upaya membangun potensi-potensi yang ada. Lihat saja, pengembangan pada kebutuhan energi dan ekonomi Aceh yang masih bergantung pada Sumatera Utara; revitalisasi Arun yang masih “ditikungan jalan” (meminjam istilah Iqbal Hasan Saleh); pelabuhan yang masih terkendala peraturan menteri; transportasi yang belum menjangkau daerah terpencil; pertanian, kehutanan dan kelautan yang masih ala kadar; serta, pindidikan yang jauh tertinggal, terlihat melalui hasil Ujian Nasional (UN); dan masih banyak lagi sektor-sektor yang menunggu keberpihakan penentu kebijakan. Pengembangan ini tentunya akan menimbulkan multiplier effect terhadap perkembangan Aceh dan Indonesia. Namun, sangat disayangkan upaya penanganannya tampak masih berlarut-larut. Memasuki 2014, momentum pemilu tentu menjadi harapan baru untuk merajut kembali kesepakatan untuk menyinkronkan kembali visi dan misi ke arah kebijakan Aceh akan dibawa. Menyikapai hal ini, tentunya rakyat Aceh pun harus selektif memilih calon legislatif dan eksekutif baru yang benar-benar terbebas dari sindrom psikologis, serta mampu merespons semua potensi dan mereduksi segala konflik yang ada. Marilah kita sambut para legislatif Aceh dan Jakarta serta pemimpin baru yang membawa angin segar untuk perubahan peradaban Aceh yang lebih gemilang.
Jebakan psikologis
Di balik kisah perdamaian 15 Agustus 2005, melalui MoU Helsinki, Aceh memang sudah mendapatkan sebuah predikat sebagai daerah damai. Kedua belah pihak yang bertikai pun sudah saling berjabat tangan. Namun persoalan terkini, apakah perdamaian Aceh ini hanya merujuk pada situasi dan kondisi yang ril saja? Pada kenyataannya ranah konflik yang terjadi telah terakumulasi pada tataran psikologis kebijakan. Kecamuk psikologis akut yang melanda para elite pemerintah Aceh dan Jakarta telah menciptakan interpretasi berbeda antara kedua belah pihak. Pandangan Jakarta terhadap Aceh atau sebaliknya dapat dipastikan berlainan satu sama lain. Walaupun terlihat saling menjaga sikap, aura pertentangan dan perselisihan, serta kecurigaan akan terus mewarnai dinamika perpolitikan Aceh. Bagi Jakarta, perlawanan yang dilakukan oleh para kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat sebelum perdamaian telah menciptakan ‘syndrom psikologis’ bagi elite-elite Jakarta. Ekspresi “kebakaran jenggot” tentunya akan biasa menghiasi wajah-wajah mereka tatkala berhadapan dengan panas-dinginnya suhu politik Aceh. Sikap reaksional pun berbicara untuk menindaklanjuti ulah-ulah dari “kaum pelawan”. Lihat saja pidato kenegaraan Presiden SBY di Gedung DPR/MPR Senayan pada pada 16 Agustus lalu, yang menegaskan bahwa “Aceh dan Papua adalah bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI”.
Terlepas dari Papua, kalimat ini tentunya menjadi sindiran Jakarta terhadap rengekan Aceh selama ini. Setiap sensasi yang dihadirkan di Aceh pastinya akan membuat Jakarta getar-getir tak karuan. Lain lagi dengan perspektif Aceh, pemerintahan Aceh yang telah dikuasai oleh para eks kombatan tentunya menjadi posisi tawar yang legal terhadap Jakarta dalam menciptakan opini rakyat. Mereka pun memainkan peran masing-masing sesuai dengan pengalaman-pengalamannya saat berhadapan dengan Jakarta. Jika dahulu berperang dengan senjata, maka sekarang mereka berperang dengan palu di “meja kebijakan”. Kenangan perjuangan yang cenderung terpatri dalam sanubari para eks kombatan tentunya menjadi manifesto politik bagi mereka. Selain itu, spirit MoU Helsinki juga menjadi modal tambahan untuk terbentuknya perjuangan baru bagi para eks kombatan dalam menjalankan pengaruh. Mereka pun akan selalu bersikap hati-hati dan defensif demi menjunjung harga diri dan martabat Aceh dari Jakarta. Psikologis inilah yang kemungkinan terus mempengaruhi alam bawah sadar mereka. Ketika kedua belah pihak terlena dalam kenikmatan psikologis, Aceh dapat dipastikan akan menjadi meja pertarungan kebijakan. Bagaimana tidak, saat Pemerintah Aceh terus-menerus menuntut nilai-nilai perjuangan 1970-an yang termaktub dalam MoU Helsinki dan Jakarta juga menuntut nilai-nilai kedaulatan NKRI, ini tentunya akan menemui kebuntuan yang kompleks. Jangan lagi-lagi rakyat Aceh yang menjadi korban dari jebakan konflik psikologis ini. Oleh karena itu, perlu adanya kesepakatan dalam hati masing-masing untuk menciptakan kebijaksanaan yang tepat tanpa intervensi psikologis terhadap persoalan Aceh. Menemukan ujung dari akar permasalahan yang terjadi di Aceh tentunya akan sulit jika keengganan antara Aceh dan Jakarta masih cukup tinggi. Berbagai persoalan yang melanda Aceh silih berganti, haruslah disikapi dengan komunikasi yang bijak antara pemerintah Aceh maupun Jakarta dan bukan malah saling menuntut satu sama lain. Merujuk dengan pemikiran Carl Gustav Jung (1875-1961), seorang psikolog asal Swiss, yaitu ‘sinkronisasi’. Melakukan sinkronisasi tentunya menjadi keharusan untuk merespon kembali komunikasi yang lebih baik antara Aceh dan Jakarta. Mengingat memori silam, komunikasi yang kurang harmonis sebenarnya sudah terlihat sejak MoU Helsinki diimplementasikan menjadi UUPA. Sikap Jakarta yang mengulur-ulur Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) menjadi gambaran terhadap kebijakan setengah hati yang bermanifesto pada ‘kecurigaan’ dan ‘ketakutan’. Begitu juga sikap Pemerintah Aceh yang mengeluarkan kebijakan Qanun Wali Nanggroe dan Qanun Lambang dan Bendera, tentunya sebagai resolusi pembanding terhadap hegemoni dan kekuatan Jakarta. Permasalahan serupan juga pernah terjadi, yaitu pada Pemilukada Aceh 2012 silam. Saat itu, tarik ulur (bargaining) politik antara permainan kebijakan Aceh dan Jakarta sangatlah kuat. Konflik regulasi yang terkait judicial review Pasal 256 tentunya menjadi persoalan serius bagi Aceh, di mana berdampak pada beberapa kali penguluran jadwal pemulikada. Inilah beberapa dari sekian banyak cuplikan “permainan kebijakan” yang mendera Aceh. Kembali lagi, tantangan yang dihadapai Aceh pasca perdamaian hingga pertengahan 2013 masihlah didominasi oleh tingginya eskalasi ketidaksinkronan kebijakan. Segala macam pemikiran pun tercurahkan pada permasalahan ini. Ternyata politik kebijakan lebih penting ketimbang untuk memberdayakan potensi-potensi alam dan kerakyatan yang sebenarnya lebih pantas dipikirkan. Menjadi penghambat
Kemelut Aceh dan Jakarta selama ini, tentunya, bukan tidak mungkin telah menjadi penghambat bagi upaya membangun potensi-potensi yang ada. Lihat saja, pengembangan pada kebutuhan energi dan ekonomi Aceh yang masih bergantung pada Sumatera Utara; revitalisasi Arun yang masih “ditikungan jalan” (meminjam istilah Iqbal Hasan Saleh); pelabuhan yang masih terkendala peraturan menteri; transportasi yang belum menjangkau daerah terpencil; pertanian, kehutanan dan kelautan yang masih ala kadar; serta, pindidikan yang jauh tertinggal, terlihat melalui hasil Ujian Nasional (UN); dan masih banyak lagi sektor-sektor yang menunggu keberpihakan penentu kebijakan. Pengembangan ini tentunya akan menimbulkan multiplier effect terhadap perkembangan Aceh dan Indonesia. Namun, sangat disayangkan upaya penanganannya tampak masih berlarut-larut. Memasuki 2014, momentum pemilu tentu menjadi harapan baru untuk merajut kembali kesepakatan untuk menyinkronkan kembali visi dan misi ke arah kebijakan Aceh akan dibawa. Menyikapai hal ini, tentunya rakyat Aceh pun harus selektif memilih calon legislatif dan eksekutif baru yang benar-benar terbebas dari sindrom psikologis, serta mampu merespons semua potensi dan mereduksi segala konflik yang ada. Marilah kita sambut para legislatif Aceh dan Jakarta serta pemimpin baru yang membawa angin segar untuk perubahan peradaban Aceh yang lebih gemilang.
No comments:
Post a Comment