BAB I
PENDAHULUAN
Kehadiran agama Islam yang dibawa
Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang
sejahtera lahir dan batin.
Petunjuk-petunjuk agama mengenai
berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya,
Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung.
Islam mengajarkan kehidupan
yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material
dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu,
bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan,
anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak
mulia dan bersikap positif lainnya.
Menurut Fazlur Rahman secara
eksplisit dasar ajaran Alquran adalah moral yang memancarkan titik beratnya
pada monoteisme dan keadilan sosial. Tesis ini dapat dilihat misalnya pada
ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan, ketaqwaan
yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia.
BAB II
KEBUTUHAN
MANUSIA TERHADAP AGAMA
A.
Pengertian Agama
Secara sederhana, pengertian agama
dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologis) dan sudut istilah
(terminologis). Mengartikan agama dari sudut istilah kebahasaan akan terasa
lebih mudah daripada mengartikan agama dari sudut istilah karena pengertian
agama dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subyektivitas dari orang
yang mengartikannya. Atas dasar ini, maka tidak mengherankan jika muncul beberapa ahli yang
tidak tertarik mendefinisikan agama. James H. Leuba, misalnya, berusaha
mengumpulkan semua definisi yang pernah dibuat orang tentang agama, tidak
kurang dari 48 teori. Namun, akhirnya ia berkesimpulan bahwa usaha untuk
membuat defenisi agama itu tak ada gunanya karena hanya merupakan kepandaian
bersilat lidah. Selanjutnya Mukti Ali pernah mengatakan, barangkali tidak ada
kata yang paling sulit diberi pengertian dan defenisi selain dari kata agama.
Pernyataan ini didasarkan kepada tiga alasan. Pertama, bahwa pengalaman
agama adalah soal batin, subyektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua
barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional daripada orang
yang membicarakan agama. Karena itu, setiap pembahasan tentang arti agama
selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata agama itu sulit didefinisikan.
Ketiga, kosepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang
memberikan definisi tersebut.
Senada dengan
Mukti Ali, M. Sastrapratedja mengatakan bahwa salah satu kesulitan untuk
berbicara mengenai agama secara umum adalah adanya perbedaan-perbedaan dalam
memahami arti agama dan disamping adanya perbedaan juga dalam cara memahmi
serta penerimaan setiap agama terhadap suatu usaha memahami agama. Setiap agama
memiliki interpretasi diri yang berbeda dan keluasan interpretasi diri itu juga
berbeda-beda..
Sampai sekarang
perdebatan tentang definisi agama masih belum selesai, sehingga W.H. Clark,
seorang ahli Ilmu Jiwa Agama, sebagaimana dikutip Zakiah Daradjat mengatakan,
bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat
digunakan untuk membuat definisi agama karena pengalaman agama adalah
subyektif, intern dan individual, dimana setiap orang akan merasakan pengalaman
agama yang berbeda dari orang lain.
Pengertian agama
dari segi bahasa dapat kita ikuti antara lain uraian yang diberikan Harun
Nasution. Menurutnya, dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama,
dikenan pula kata din (Ïﻴﻦ ) dari bahasa Arab dan kata religi
dalam bahasa Eropa. Menurutnya, agama berasal dari kata sanskrit. Menurut satu
pendapat, demikian Harun Nasution mengatakan, kata itu tersusun dari dua kata, a
= tidak dan gam = pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap di
tempat, diwarisi secara turun-temurun. Hal demikian menunjukkan pada salah satu
sifat agama, yaitu diwarisi secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi
lainnya. Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks
atau kitab suci, dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci.
Selanjutnya din
dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini
mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan
Sementara itu
Elizabeth K Nottingham yang pendapatnya tersebut tampak lebih menunjukkan pada
realitas objektif, yaitu bahwa ia melihat pada dasaranya agama itu bertujuan
mengangkat harkat dan martabat manusia dengan cara memberikan suasana batin
yang nyaman dan menyejukkan, tapi juga agama terkadang disalah-gunakan oleh
penganutnya untuk tujuan-tujuan yang merugikan orang lain.
Substansi agama
bersifat transenden tetapi juga sekaligus imanen. Ia transenden, karena
substansi agama sulit didefinisikan dan tidak terjangkau kecuali melalui
predikat atau bentuk formalnya yang lahiriah. Namun begitu, agama juga imanen
karena sesungguhnya hubungan antara predikat dan substansi tidak mungkin
dipisahkan. Kalau saja substansi agama bisa dibuat hierarki, maka substansi
agama yang paling primordial hanyalah satu. Ia bersifat parennial, tidak
terbatas karena ia merupakan pancaran dari yang mutlak. Ketika substansi agama
hadir dalam bentuk yang terbatas, maka sesungguhnya agama pada waktu yang sama
bersifat universal sekaligus partikular.
Karena banyaknya
definisi tentang agama yang dikemukakan para ahli, Harun Nasution mengatakan
bahwa dapat diberi definisi sebagai berikut :
1). Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus
dipatuhi;
2). Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia;
3). Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada
suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia;
4). Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu;
5). Suatu sistem tingkah laku (code of condut) yang berasal dari
kekuatan gaib;
6). Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada
suatu kekuatan gaib;
7). Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan
perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar
manusia;
8). Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul (utusan
Allah).
Selanjutnya,
Taib Thahir Abdul Mu’in mengemukakan definisi agama sebagai suatu peraturan
Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk dengan kehendak
dan pilihannya sendiri mengikuti peraturan tersebut, guna mencapai kebahagiaan
hidupnya di dunia dan akhirat.
Dari beberapa
definisi di atas, kita dapat menjumpai 4 unsur yang menjadi karakteristik agama
sebagai berikut :
a). Pertama, unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib.
b). Kedua,
unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan
akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan yang
dimaksud.
c). Ketiga,
unsur respon yang bersifat emosional dari manusia
d). Keempat, unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk
kekuatan gaib, dalam bentuk kitab suci yang mengandung ajaran-ajaran agama yang
bersangkutan, tempat-tempat tertentu, peralatan untuk menyelenggarakan upacara
dan sebagainya.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama
adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang
terkandung dalam kitab suci yang turun menurun diwariskan oleh suatu generasi
ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia
agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dari kesimpulan
tersebut dapat dijumpai adanya lima aspek yang terkandung dalam agama. Pertama,
aspek asal-usulnya, yaitu ada yang berasal dari Tuhan seperti agama samawi, dan
ada yang berasal dari pemikiran manusia seperti agama ardli atau agama
kebudayaan. Kedua, aspek tujuannya yaitu untuk memberikan tuntunan hidup
agar bahagia di dunia dan akhirat. Ketiga, aspek ruang lingkupnya, yaitu
keyakinan akan adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya
di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik
dengan kekuatan gaib, respon yang bersifat emosional, dan adanya yang dianggap
suci. Keempat, aspek pemasyarakatannya, yaitu disampaikan secara turun
temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi lain. Kelima, aspek
sumbernya, yaitu kitab suci.
B. Latar Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama
Sekurang-kurangnya
ada empat alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Keempat
alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Latar Belakang Fitrah Manusia
Dalam bukunya
yang berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada Muthahhari
mengatakan, bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali as. menyebutkan
bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah
diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya.
Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah,
melainkan terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah
manusia, dan di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan
batiniah.
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168], (QS. Al-Rum, 30:30).
[1168] fitrah Allah: maksudnya
ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama
tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar.
mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Berdasarkan
informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri merupakan
makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan
petunjuk nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa setiap anak yang
dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Bukti manusia
sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat melalui bukti
historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti historis dan antropologis kita
mengetahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang
informasi mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguh pun
Tuhan yang mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya.
Sebagian
hipotesis mengatakan bahwa agama adalah produk rasa takut. Seperti rasa takut
manusia dari alam, dari gelegar suara guruh yang menggetarkan, dari luasnya
lautan, dan dari deburnya ombak yang menggulung serta gejala-gejala alamiah
lainnya. Sebagai akibat dari rasa takut ini, terlintaslah agama dalam benak
manusia. Lucterius, seorang filosof Yunani yang pendapatnya dikutip Murthada
Muthahhari mengatakan bahwa nenek moyang pertama para dewa adalah dewa
ketakutan. Hipotesis lainnya mengatakan bahwa agama adalah produk kebodohan.
Sebagian orang percaya bahwa faktor yang mewujudkan agama adalah kebodohan
manusia, sebab manusia, sebab dengan wataknya selalu cenderung untuk mengetahui
sebab-sebab dan hukum-hukum yang berlaku atas alam ini serta
peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya.
Beberapa
hipotesis tersebut telah banyak dibuktikan kegagalannya oleh para ahli karena
dasar hipotesis tersebut adalah pemikiran manusia yang terbatas, sedangkan
agama yang benar mesti datang dari yang Maha Tidak Terbatas, yaitu Tuhan.
Hipotesis tersebut sekedar menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama,
namun potensi tersebut jka tidak diarahkan akan keliru hasilnya sebagaimana
terlihat pada beberapa hipotesis tersebut. Namun demikian, hal ini tidak
berarti akal manusia tidak ada manfaatnya, melainkan menunjukkan bahwa dalam
hal beragama akal saja tidaklah cukup.
Informasi
lainnya yang menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama dikemukakan
oleh Carld Gustave Jung. Jung percaya, bahwa agama termasuk hal-hal yang memang
sudah ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya William
James, seorang filosof dan ilmuan terkemuka dari Amerika mengatakan,
”Kendatipun benar pernyataan bahwa hal-hal fisis dan meterial merupakan sumber
tumbuhnya berbagai keinginan batin, namun banyak pula keinginan yang tumbuh
dari alam di balik alam material ini”. Buktinya, banyak perbuatan manusia tidak
bersesuaian dengan perhitungan-perhitungan material. Sementara itu, Alexis
Carell, salah seorang pemenang hadiah Nobel berpendapat bahwa doa merupakan
gejala keagamaan yang paling agung bagi manusia, karena pada keadaan itu jiwa
manusia terbang melayang kepada Tuhan. Pada bagian lain dari bukunya yang
berjudul Doa, Carell mengatakan bahwa pada batin manusia ada seberkas
sinar yang menunjukkan kepada manusia kesalahan-kesalahan dan
penyimpangan-penyimpangan yang kadang-kadang dilakukannya. Sinar inilah yang
mencegah manusia dari terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan penyimpangan.
Adanya naluri
beragama (bertuhan) tersebut lebih lanjut dapat semakin diperjelas jika kita
mengkaji bidang tasawuf. Ketika kita mengkaji paham hulul dari Al-Hallaj
(858 – 933 M) misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri manusia terdapat
sifat dasar ke-Tuhanan yang disebut lahut, dan sifat dasar kemanusiaan
yang disebut nasut. Demikian pula pada diri Tuhan pun terdapat sifat lahut
dan nasut. Sifat lahut Tuhan mengacu pada zat-Nya, sedangkan
sifat nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya. Sementara itu sifat nasut
manusia mengacu pada unsur lahiriah dan fisik manusi, sedangkan sifat lahut
manusia mangacu kepada unsur batiniah dan Ilahiah. Jika manusia mampu merdam
sifat nasutnya maka akan tampak adalah sifat lahutnya. Dalam
keadaan demikian terjadilah pertemuan antara nasut Tuhan dengan lahut
manusia, dan inilah yang dinamakan hulul.
2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia
Faktor lainnya
yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena di samping manusia
memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini antara laian
diungkapkan oleh kata Al-Nafs. Menurut Qurash Shihab, bahwa dalam
pandangan Alquran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi
menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena
itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Alquran dianjurkan untuk diberi
perhatian lebih besar. Kita misalnya ayat yang berbunyi :
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ
Dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. Al-Syams) 91 : 7 – 8).
Menurut Quraish
Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar manusia melalui nafs
menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan
kebaikan dan keburukan. Di sini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata
ini menurut Alquran dengan terminologi kaum Sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam
risalahnya dinyatakan bahwa nafs dalam pengertian sufi adalah sesuatu
yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk. Pengertian kaum Sufi tentang nafs
ini sama dengan yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang antara
lain menjelaskan bahwa nafs adalah dorongan hati yang kuat untuk berbuat
yang kurang baik.
Kaum
Mu’tazilah mewajibkan pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan agar
kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang datang
dari wahyu (agama). Dengan demikian, Mu’tazilah secara tidak langsung memandang
bahwa manusia memerlukan wahyu.
3. Tantangan Manusia
Faktor lain yang
menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya
senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun
dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan
setan (Lihat QS. 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa
rekayasa dan uapaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya
ingin memalingkan manusia dari Tuhan.
BAB III
BERBAGAI PENDEKATAN DI DALAM MEMAHAMI AGAMA
Dewasa ini
kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya
sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampikan dalam
kotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkkan cara-cara yang paling
efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan
terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang
selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis dilengkapi dengan pemahaman
agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual,
dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Dalam memahami
agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu dilakukan, karena
pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh
penganutnya.
Berbagai
pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis,
psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud
dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat
dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam
hubungan ini, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan
menggunakan berbagai paradigma.
Untuk lebih
jelasnya berbagai pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :
A. Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan
teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai
upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak
dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai
yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa
teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama
tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang
tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa sebagai
pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk
pemikiran teologis.
Menurut
pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer ini ada 4 prototipe
pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis,
mesianis dan tradisionalis. Keempat prototipe pemikiran keagamaan
tersebut sudah barang tentu tidak mudah disatukan dengan begitu saja.
Masing-masing mempunyai ”keyakinan” teologi yang seringkali sulit untuk
didamaikan.
Dari pemikiran
tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan
adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol
keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut
mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan lainnya sebagai salah.
Amin Abdullah
mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah
esensial pluralitas agama saat sekarang ini.
Berkenaan dengan
hal di atas, saat ini muncullah apa yang disebut dengan istilah teolgi masa
kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan imannya atau
penghayatan agamanya, suatu penafsiranm atas sumber-sumber aslinya dan
tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini, yaitu teologi yang bergerak
antara dua kutub : teks dan situasi; masa lampau dan masa kini.
B. Pendekatan Antropologis
Pendekatan
antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan
dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya.
C. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah
ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki
ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Soerjono Soekanto
mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri
terhadap persoalan penilaian.
Dari dua
definisi terlihat bahwa sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan tentang
keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala
sosial lainnya yang saling berkaitan.
Selanjutnya,
sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama.
Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru
dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan
dan ilmu sosiologi.
Jalaluddin
Rahmat dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan betapa
besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial,
dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut :
1). Pertama, dalam Alquran atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber
hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah
Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin
Rahmat, dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat
yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus – untuk satu
ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).
2). Kedua, bahwa ditekankannya masalah
muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah
bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah
boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan
dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
3). Ketiga,
bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar
daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang dilakukan
secara berjemaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dikerjakan
sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
4). Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak
sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya
(tembusannya) adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
5). Kelima,
dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.
D. Pendekatan Filosofis
Secara harfiah,
kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu
dan hikmah. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu,
berusaha manutkan sebab dan akibat serta berusaha manafsirkan pengalaman-pengalaman
manusia. Dalam Kamus Umum Bahsa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan
filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai
sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam
semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti ”adanya” sesuatu. Pengertian
filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba.
Menurutnya filsafat adalah berpikir secara mendalam, sitemik, radikal dan
universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai
segala sesuatu yang ada.
Filsafat mencari
sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik yang bersifat
lahiriah.
E. Pendekatan Historis
Sejarah atau
historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari
peristiwa tersebut.
Melalui
pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang
bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan
yang ada di alam empiris dan historis.
F. Pendekatan Kebudayaan
Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan
penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat
istiadat; dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk
menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan. Sementara itu, Sutan Takdir
Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang
terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni,
hukum, moral, adat istiadat dan segala kacakapan lain yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat.
Dengan demikian,
kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengarahkan
segenap potensi batin yang dimilikinya.
G. Pendekatan Psikologi
Psikologi atau
ilmu jiwa adalah jiwa yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku
yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak
lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu jiwa
agama sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan
benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan
adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku
penganutnya.
Dengan ilmu jiwa
ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami
dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan
agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan uasianya. Dengan ilmu
agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
BAB IV
HUBUNGAN AGAMA
DENGAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Dunia saat ini
tengah memasuki era globalisasi dengan dampak negatif dan positifnya. Di antara
dampak negatif tersebut misalnya terjadi dislokasi, dehumanisasi, sekuralisasi
dan sebagainya; sedangkan dampak positifnya antara lain terbukanya berbagai kemudahan
dan kenyamanan, baik dalam lingkungan ekonomi (ekonosfer), informasi
(infosfer), teknologi (teknosfer), sosial (sisosfer) maupun psikolgi
(psikosfer).
A. Pandangan Ajaran Islam Tentang Ilmu Sosial
Sejak
kelahirannya belasan abad yang lalu, Islam telah tampil sebagai agama yang
memberi perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat; antara
hubungan manusia dengan Tuhan; antara hubungan manusia dengan manusia; dan
antara urusan ibadah dengan urusan muamalah.
Dalam keadaan
demikian, kita saat ini nampaknya sudah mendesak untuk mememiliki ilmu
pengetahuan sosial yang mampu membebaskan manusia dari berbagai problema
tersebut. Ilmu pengetahuan sosial yang dimaksudkan adalah ilmu pengetahuan yang
digali dari nilai-nilai agama. Kuntowijoyo menyebutnya sebagai ilmu sosial
profetik.
B. Ilmu Sosial Yang Bernuansa Islam
Menurut
Kuntowijoyo, kita butuh ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak
hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke
arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dana oleh siapa. Yaitu ilmu
sosial yang mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita etik dan profetik
tertentu; perubahan tersebut didasarkan pada tiga hal. Pertama, cita-cita kemanusiaan, kedua,
liberasi dan ketiga, transendensi. Cita-cita profetik tersebut dapat
diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam ayat 110
surat Ali Imron sebagai berikut :
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
110. Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Imron, 110).
Nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi),
liberasi dan transendensi yang dapat digali dari ayat tersebut dapat dijelaskan
secara singkat sebagai berikut :
Pertama, bahwa
tujuan humanisasai adalah memanusiakan manusia dari proses dehumanisasi.
Sementara itu
tujuan liberasi adalah pembebasan manusia dari lingkungan teknologi, pemerasan
kehidupan, menyatu dengan orang miskin yang tregusur oleh kekuatan ekonomi
raksasa dan berusaha membebaskan manusia dari belenggu yang kita buat sendiri.
Selanjutnya,
tujuan dari transendensi adalah menumbuhkan dimensi transendental dalam
kebudayaan.
Dalam ilmu
sosial profetik, kita ingin melakukan reorientasi terhadap epistemologi,
orientasi terhadap mode of thought dan mode of inquirity, yaitu
suatu pandangan bahwa sumber ilmu bukan hanya berasal dari rasio dan empiri
sebagaimana yang dianut dalam masyarakat barat, tetapi juga dari wahyu.
C. Peran Ilmu Sosial Profetik Pada Era Globalisasi
Dengan ilmu
sosial profetik yang kita bangun dari ajaran Islam sebagaimana tersebut di
atas, kita tidak perlu takut atau khawatir terhadap dominasi sains Barat dan
arus globalisasi yang terjadi saat ini. Islam perlu membuka diri terhadap
seluruh warisan peradaban. Islam adalah sebuah paradigma terbuka.
Sejak beberapa
abad yang lalu Islam mewarisi tradisi sejarah dari seluruh warisan peradaban
manusia. Kita tidak membangun dari ruang yang hampa. Hal demikian dapat
dipahami dari kandungan Surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya : Pada hari ini
telah aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah aku cukupkan kepadamu
ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Kata telah
Ku-sempurnakan agama-Ku mengandung arti bukan membuat yang baru atau
membangun dari ruang yang hampa melainkan dari bahan-bahan yang sudah ada.
Islam mewarisi
peradaban Yunani dan Romawi di Barat, peradaban Persia, India dan cina di
Timur. Ketika abad VIII – XV peradaban Barat dan Timur tenggelam dan menjalani
kemerosotan, Islam bertindak sebagai pewaris utamanya untuk kemudian
diambil-alih oleh Barat sekarang melalui renaissans.
Alquran sebagai
sumber utama ajaran Islam diturunkan bukan dalam ruang hampa, melainkan dalam
setting sosial aktual.
Bukti sejarah
tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa dari segi sejak kelahirannya lima
belas abad yang lalu Islam telah tampil sebagai agama terbuka, akomodatif serta
berdampingan dengan agama, kebudayaan dan peradaban lainnya. Tetapi dalam waktu
bersamaan Islam juga tampil memberikan kritik, perbaikan, bahkan penolakan
dengan cara-cara yang amat simpatik dan tidak menimbulkan gejolak sosial yang
membawa korban yang tidak diharapkan.
Dengan mengikuti
uraian di atas, kiranya menjadi jelas bahwa Islam memiliki perhatian dan
kepedulian yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial. Karena itu, kehadiran
ilmu sosial yang banyak membicarakan tentang manusia tersebut dapat diakui oleh
Islam. Namun Islam memiliki pandangan yang khas tentang ilmu sosial yang harus
dikembangkan, yaitu ilmu sosial profetik yang dibangun dari ajaran Islam dan
diarahkan untuk humanisasi, liberasi dan transendensi. Ilmu pengetahuan sosial demikian
yang dibutuhkan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya pada era
globalisasi di abad XXI mendatang.
BAB V
PENGERTIAN DAN SUMBER AJARAN ISLAM
Sebagai agama
terakhir, Islam diketahui memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan
agama-agama yang datang sebelumnya.
A. Pengertian Agama Islam
Ada dua sisi
yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama Islam, yaitu sisi
kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang Islam ini dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Dari segi
kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang
mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Dan kata salima selanjutnya
diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam
kedamaian.
Senada dengan
pendapat di atas, sumber lain mengatakan Islam berasal dari bahasa Arab,
terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata
itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa
dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat.
Dari pengertian
itu, kata Islam dekat arti kata agama yang berarti menguasai,
menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan.
B. Sumber Ajaran Islam
Di kalangan
ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alquran
dan Al-Sunnah; sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk
memahami Alquran dan Al-Sunnah .
1. Alquran
Di kalangan para
ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian Alquran baik
dari segi bahasa maupun istilah. Asy-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa Alquran
bukan berasal dari akar kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan memakai
kata hamzah. Lafal tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah
(firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara itu Al-Farra
berpendapat bahwa lafal Alquran berasal dari kata qarain jamak dari kata
qarinah yang berarti kaitan; karena dilihat dari segi makna dan
kandungannya ayat-ayat Alquran itu satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya,
Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafal Alquran diambil dari
akar kata qarn yang berarti menggabungkan suatu atas yang lain; karena
surat-surat dan ayat-ayat Alquran satu dan lainnya saling bergabung dan
berkaitan.
Manna’
al-Qathhthan, secara ringkas mengutip pendapat para ulama pada umumnya yang menyatakan
bahwa Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan
dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian yang demikian senada dengan
yang diberikan Al-Zarqani.
2. Al-Sunnah
Kedudukan
Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan
ayat-ayat Alquran dan hadis juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para
sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti
hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Menurut bahasa
Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang
baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Al-Sunnah seperti ini sejalan dengan
makna hadis Nabi yang artinya : ”Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan)
yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang
yang mengerjakanny; dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa
bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang
mengerjakannya.
Sementara itu Jumhurul
Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-Sunnah,
Al-Hadis, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan
maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah
adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan
dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.
Sebagai sumber
ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Al-Sunnah memiliki fungsi yang pada
intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan
dari adanya sebagian ayat Alquran :
1). Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;
2). Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;
3). Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada
pula
4). Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang
menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut; bahkan
terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam
Alquran yang selanjutnya diserahkan kepada hadis nabi.
BAB VI
KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM
Selama ini kita
sudah mengenal Islam, tetapi Islam dalam potret yang bagaimanakah yang kita
kenal itu, tampaknya masih merupakan suatu persoalan yang perlu didiskusikan
lebih lanjut. Misalnya mengenal Islam dalam potret yang ditampilkan Iqbal
dengan nuansa filosofis dan sufistiknya. Islam yang ditampilkan Fazlur Rahman
bernuansa historis dan filosofis. Demikian juga, Islam yang ditampilkan
pemikir-pemikir dari iran seperti Ali Syari’ati, Sayyed Hussein Nasr, Murthada
Munthahhari.
Pemikiran para
ilmuan Muslim dengan mempergunakan berbagai pendekatan tersebut di atas kiranya
dapat digunakan sebagai bahan untuk mengenal karakteristik ajaran Islam, tidak
mencoba memperdebatkannya antara satu dan lainnya, melainkan lebih mencari
sisi-sisi persamaannya untuk kemaslahatan umat umumnya dan untuk keperluan
studi Islam pada khususnya.
A. Dalam Bidang Agama
Melalui karyanya
berjudul Islam Doktrin dan Peradaban, Nurcholis Madjid banyak berbicara
karakteristik ajaran Islam dalam bidang agama. Menurutnya, bahwa dalam bidang
agama Islam mengakui adanya pluralisme. Pluralisme menurut Nurcholis Madjid
adalah aturan Tuhan (Sunnah Allah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak
mungkin dilawan atau diingkari.
Karakteristik
agama Islam dalam visi keagamaannya bersifat toleran, pemaaf, tidak memaksakan
dan saling menghargai karena dalam pluralitas agama tersebut terdapat unsur
kesamaan yaitu pengabdian pada Tuhan.
B. Dalam Bidang Ibadah
Karakteristik
ajaran Islam selanjutnya dapat dikenal melalui konsepsinya dalam bidang ibadah.
Secara harfiah ibadah berarti bakti manusia kepada Allah Swt, karena didorong
dan dibangkitkan oleh akidah tauhid.
Visi Islam
tentang ibadah merupakan sifat, jiwa, dan misi ajaran Islam itu sendiri yang
sejalan dengan tugas penciptaan manusia, sebagai makhluk yang hanya
diperintahkan agar beribadah kepada-Nya.
C. Bidang Akidah
Dalam Kitab Mu’jam
al-Falsafi, Jamil Shaliba mengartikan akidah menurut bahasa adalah
menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh. Ikatan
tersebut berbeda dengan terjemahan kata ribath yang artinya juga ikatan tetapi
ikatan yang mudah dibuka, karena akan mengandung unsur yang membahayakan.
Karakteristik
Islam yang dapat diketahui melalui bidang akidah ini adalah bahwa akidah Islam
bersifat murni baik dalam isinya maupun prosesnya.
D. Bidang Ilmu dan Kebudayaan
Karakteristik
Islam dalam bidang ilmu dan kebudayaan bersikap terbuka, akomodatif, tetapi
juga selektif. Islam adalah paradigma terbuka. Ia merupakan mata rantai
peradaban duni. Dalam sejarah kita melihat Islam mewarisi peradaban
Yunani-Romawi di Barat dan peradaban-peradaban Persia, Indi dan Cina di Timur.
Karakteristik
Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan dapat dilihat dari 5 ayat
pertama surat Al-Alaq yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw. Pada ayat
tersebut terdapat kata iqra’ yang diulang sebanyak dua kali. Kata
tersebut menurut A.Baiquni, selain berarti membaca dalam arti biasa, juga
berarti menelaah, mengobservasi, membandingkan, mengukur, mendiskripsikan,
menganalisis dan penyimpulan secara induktif.
E. Bidang Pendidikan
Islam memaandang
bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang (education for all),
laki-laki atau perempuan dan berlangsung sepanjang hayat (long life
education).
F. Bidang Sosial
Ajaran Islam dalam
bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol karena seluruh bidang ajaran
Islam sebagaimana telah disebutkan di atas pada akhirnya ditujukan untuk
kesejahteraan manusia.
Menurut
penelitian yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata agama yang menekankan
urusan muamalah lebih besar daripada urusan ibadah. Islam ternyata banyak
memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual.
G. Dalam Bidang Kehidupan Ekonomi
Karakteristik
ajaran Islam selanjutnya dapat dipahami dari konsepsinya dalam bidang
kehidupan. Islam memandang bahwa kehidupan yang harus dilakukan manusia adalah
hidup yang seimbang dan tidak terpisahkan antara urusan dunia dan akhirat.
Urusan dunia dikejar dalam rangka mengejar kehidupan akhirat dan kehidupan akhirat
dicapai dengan dunia. Kita membaca hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibn
Mubarak yang artinya : Bukanlah termasuk orang yang baik di antara kamu adalah
orang yang meninggalkan dunia karena mengejar kehidupan akhirat, dan orang yang
meninggalkan akhirat karena mengejar kehidupan dunia. Orang yang baik adalah
orang yang meraih keduanya secara seimbang, karena dunia adalah alat menuju
akhirat, dan jangan dibalik yakni akhirat dikorbankan untuk urusan dunia.
H. Dalam Bidang Kesehatan
Ajaran Islam
tentang kesehatan berpedoman pada prinsip pencegahan lebih diutamakan daripada
penyembuhan. Berkenaan dengan konteks kesehatan ini ditemukan banyak petunjuk
kitab suci dan sunnah Nabi Muhammad Saw. yang pada dasarnya mengerah pada upaya
pencegahan diantaranya. Surat Al-Baqarah , 2:222) yang artinya : Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan senang kepada orang-orang yang
membersihkan diri. Selain itu Surat Al-Mudatsir 74:4-5) yang artinya : Dan
bersihkanlah pakaianmu dan tinggalkanlah segala macam kekotoran.
I. Dalam Bidang Politik
Dalam Alquran
Surat An-Nisa’ ayat 156 terdapat perintah menaati ulil amri yang terjemahannya
termasuk penguasa di bidang politik, pemerintahan dan negara. Islam menghendaki
suatu ketaatan kritis yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolak ukur kebenaran
dari Tuhan. Jika pemimpin tersebut berpegang teguh pada tuntutan Allah dan
rasul-Nya maka wajib ditaati. Sebaliknya, jika pemimpin tersebut bertentangan
dengan kehendak Allah dan rasul-Nya, boleh dikritik atau diberi saran agar
kembali ke jalan yang benar dengan cara-cara yang persuasif. Dan jika cara
tersebut juga tidak dihiraukan oleh pemimpin tersebut, boleh saja untuk tidak
dipatuhi.
J. Dalam Bidang Pekerjaan
Islam memandang
bahwa kerja sebagai ibadah kepada Allah Swt. Atas dasar ini maka kerja yang
dikehendaki Islam adalah kerja yang bermutu, terarah pada pengabdian terhadap
Allah Swt, dan kerja yang bermanfaat bagi orang lain.
Untuk
menghasilkan produk pekerjaan yang bermutu, Islam memandang kerja yang dilakukan
adalah kerja profesional, yaitu kerja yang didukung ilmu pengetahuan, keahlian,
pengalaman, kesungguhan dan sebagainya.
K. Islam Sebagai Disiplin Ilmu
Islam juga telah
tampil sebagai sebuah disiplin ilmu yaitu ilmu keislaman. Menurut peratutan
Menteri Agama Republik Indonesia Tahun 1985, bahwa yang termasuk disiplin ilmu
keislaman adalah Alquran/Tafsir, Hadis/Ilmu Hadis, Ilmu Kalam, Filsafat,
Tasawuf, Hukum Islam (Fiqih), Sejarah dan Kebudayaan Islam serat Pendidikan
Islam.
Islam sebenarnya
mempunyai aspek teologi, aspek ibadah, aspek moral, aspek mistisisme, aspek
filsafat, aspek sejarah, aspek kebudayaan dan sebagainya.
No comments:
Post a Comment