PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Aqidah adalah pokok-pokok keimanan yang telah ditetapkan oleh Allah, dan
kita sebagai manusia wajib meyakininya sehingga kita layak disebut sebagai
orang yang beriman (mu’min).
Namun bukan berarti bahwa keimanan itu ditanamkan dalam diri
seseorang secara dogmatis, sebab proses keimanan harus disertai dalil-dalil
aqli. Akan tetapi, karena akal manusia terbatas maka tidak semua hal yang harus
diimani dapat diindra dan dijangkau oleh akal manusia
Para ulama sepakat bahwa dalil-dalil aqli yang haq dapat menghasilkan
keyakinan dan keimanan yang kokoh. Sedangkan dalil-dalil naqli yang dapat
memberikan keimanan yang diharapkan hanyalah dalil-dalil yang qath’i.
Makalah kecil ini menampilkan beberapa bahasan yang bisa membantu siapa
saja yang ingin memahami aqidah.
2. Rumusan Masalah
1.
Apa aqidah itu?
2.
Apa landasan filosofis dan religiusnya?
3.
Apa saja ruang lingkup aqidah?
4.
Apa kaidah dari aqidah?
5.
Apa fungsi aqidah?
3. Tujuan Makalah
1.
Menjelaskan pengertian aqidah
2.
Menjelaskan landasan filosofis dan religiusnya
3.
Menerangkan tentang ruang lingkup aqidah
4.
Memaparkan delapan kaidah aqidah
5.
Menyampaikan fungsi utama aqidah
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN DAN LANDASAN AQIDAH
1.1.
Pengertian Aqidah Islam
Secara etimologi (lughatan), aqidah berakar dari kata ‘aqada - ya’qidu
- ‘aqdan yang berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk
menjadi aqidah berarti keyakinan.[1] Relevansi antara arti kata aqdan dan aqidah
adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat
dan mengandung perjanjian.
Secara terminologis (isthilahan),
terdapat beberapa definisi (ta’rif) antara lain:
1.
Menurut Hasan al-Banna:
العقائد هي الأمور التى يجب أن يصدق بها قلبك وتطمئن اليها
نفسك وتكون يقينا عندك لا يمازجه ريب ولايخالطه شك
“Aqidah adalah beberapa perkara yang
wajib diyakini keberadaannya oleh hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa,
menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan”[2]
2.
Munurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
العقيدة هي مجموعة من قضايا الحق البدهية المسلمة بالعقل,
والسمع والفطرة, يعقد عليها الإنسان قلبه, ويثنى عليها صدره جازما بصحتها, قاطعا
بوجودها وثبوتها لايرى خلافها أنه يصح أو يكون أبدا
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran
yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu
dan fithrah. (Kebenaran) itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta
diyakini kesahihan dan kebenarannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu
yang bertentangan dengan kebenaran itu”[3]
Untuk lebih memahami kedua definisi
di atas maka perlu dikemukakan beberapa catatan tambahan:
1.
Ilmu terbagi dua: pertama ilmu dharuri, kedua ilmu
nazhari. Ilmu yang dihasilkan oleh indera, dan tidak memerlukan dalil
disebut ilmu dharuri. Misalnya anda melihat meja di hadapan mata, anda
tidak lagi memerlukan dalil atau bukti bahwa benda itu ada. Sedangkan ilmu yang
memerlukan dalil atau pembuktian itu disebut ilmu nazhari. Misalnya 1+1=2,
tentu perlu dalil untuk orang yang belum tahu teori itu. Di antara ilmu nazhari
itu, ada hal-hal yang karena sudah sangat umum dan terkenal maka tidak
memerlukan lagi adanya dalil, misalnya sepeda bannya ada dua sedangkan mobil
bannya ada empat, tanpa dalil siapapun pasti mengetahui hal tersebut. Hal
inilah yang disebut badihiyah. Badihiyah adalah segala sesuatu
yang kebenarannya perlu dalil pembuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan
mendarah daging maka kebenaran itu tidak perlu pembuktian lagi.
2.
Setiap manusia memiliki fithrah mengakui kebenaran
(bertuhan), indera untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran
dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana yang benar
dan mana yang tidak. Tentang Tuhan, misalnya, setiap manusia memiliki fithrah
bertuhan, dengan indera dan akal dia bisa buktikan adanya Tuhan, tapi hanya
wahyulah yang menunjukkan kepadanya siapa Tuhan yang sebenernya.
3.
Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan
keraguan. Sebelum seseorang sampai ke tingkat yakin dia akan mengalami lebih dahulu
Syak (50%-50% antara membenarkan dan menolak), kemudian Zhan (salah
satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya karena ada dalil yang menguatkan),
kemudian Ghalabatuz Zhan (cenderung menguatkan salah satu karena
dalilnya lebih kuat, tapi masih belum bisa menghasilkan keyakinan penuh),
kemudian Ilmu/Yakin (menerima salah satu dengan sepenuh hati karena
sudah meyakini dalil kebenarannya). Keyakinan yang sudah sampai ke ringkat ilmu
inilah yang disebut aqidah.
4. Aqidah harus mendatangkan ketenteraman jiwa. Artinya
lahiriyah seseorang bisa saja pura-pura meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu
tidak akan mendatangkan ketenangan jiwa karena dia harus melaksanakan sesuatu
yang berlawanan dengan keyakinannya. Kawin paksa misalnya, hidup satu rumah
dengan orang yang tidak pernah dia sukai, secara lahiriyah hubungan mereka
telah sukses karena berakhir dipelaminan namun jiwa mereka tidaklah tenteram
seperti kelihatan.
5. Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus
menolak segala yang bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak
akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan. Misalnya ada meyakini
gula itu rasanya manis, tentunya anda akan menolak untuk meyakini bahwa gula
itu rasanya asin, tidak mungkin anda yakin bahwa gula itu rasanya manis dan
asin.
6. Tingkat keyakinan (aqidah) seseorang tergantung kepada
tingkat pemahamannya terhadap dalil. Misalnya:
-
Anda akan meyakini adanya beasiswa bila anda mendapatkan
informasi tentang beasiswa tersebut dari orang yang anda kenal tidak pernah
berbohong.
-
Keyakinan itu akan bertambah apabila anda mendapatkan
informasi yang sama dari beberapa orang lain, namun tidak menutup kemungkinan
bahwa anda akan meragukan kebenaran informasi itu apabila ada syubuhat
(dalil dalil yang menolak informasi tersebut).
-
Bila anda melihat pengumuman beasiswa di fakultas maka
bertambahlah keyakinan anda sehingga kemungkinan untuk ragu semakin kecil
-
Apabila anda diberi formulir pengajuan beasiswa maka
keyakinan anda semakin bertambah dan segala keraguan akan hilang bahkan anda
tidak mungkin ragu lagi bahkan anda tidak akan merubah pendirian anda sekalipun
semua orang menolaknya
-
Ketika anda bolak balik mengurus segala yang terkait
dengan beasiswa maka bertambahlah pengetahuan dan pengalaman anda tentang
beasiswa yang diyakini tadi.
1.2. Landasan Filosofis Aqidah Islam
Pada
hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-Qur’an dan
Sunnah.
Allah
mengutus (Rasul) yang membawa pesan dari-Nya untuk disampaikan kepada seluruh
umat manusia. Pesan Allah itu ditulis dalam Al-Kitab (Al-Qur’an). Allah
menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan berfikir kepada manusia untuk mengenal
adanya Allah dengan memperhatikan alam sebagai bukti hasil perbuatan-Nya Yang
Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu serba teratur, cermat dan berhati-hati.
Yang menerima hikmah-hikmai inilah yang disebut “Hukuman” atau “Filosof”.[4]
Berikut beberapa pendapat para filosof
barat tentang Tuhan:
-
Pendapat
Xenophanes
Xenophanes menyatakan: “Tuhan
hanya satu, yang terbesar di antara dewa dan manusia, tidak serupa dengan
makhluk yang fana.”
“Tuhan Yang Esa itu tidak
dijadikan tidak bergerak dan berubah-ubah, dan ia mengisi seluruh alam. Dia
melihat semuanya, mendengar semua dan memikirkan seluruhnya. Mudah sekali Ia
memimpin alam ini dengan kakuatan fikirNya.”
-
Pendapat
Socrates
Socrates menyatakan: “Tuhan
pencipta ala mini bukanlah hanya untuk memikirkan dan memperhatikan manusia
saja, tapi ialah roh bagi manusia. Jika tidak begitu cobalah sebutkan padaku,
hewan manakah yang dapat mengetahui adanya Tuhan yang mengatur susunan tubuh
yang mempunyai sifat-sifat tinggi seperti ini! Coba katakana hewan mana selain
manusia yang dapat dibawa akalnya menyembah dan berkhidmah kepada Tuhan?”
-
Pendapat Descartes
Descartes menyatakan: “Saya tidak menjadikan diri saya
sendiri. Sebab kalau saya menjadikan, tentulah saya dapat memberikan segala
sifat kesempurnaan kepada diri saya itu. Oleh sebab itu tentu saya dijadikan
oleh Dzat yang lain. Dan sudah pasti pula Dzat lain itu menjadikan saya
mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, kalau tidak akan sama halnya dengan diri
saya.”
“Saya
selalu merasa diri saya dalam kekurangan, dan pada waktu itu juga diri saya
merasa tentu ada Dzat yang tidak kekurangan, yakni sempurna. Dan Dzat yang
sempurna itu ialah Allah”[5]
Mari kita kaji Al-Qur’an lalu kita perhatikan kandungannya, bahwa apa yang
dinyatakan oleh para filosof di atas, semakna dengan apa yang dinyatakan oleh
Allah di dalam Al-Qur’an:
Dan Apakah
manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani),
Maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!
Dan ia membuat
perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata:
"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur
luluh?"
Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh
Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang
segala makhluk. [QS.36:77-79].
Maka hendaklah manusia memperhatikan
dari Apakah Dia diciptakan?
Dia diciptakan dari air yang
dipancarkan,
yang keluar dari antara tulang sulbi
laki-laki dan tulang dada perempuan.
Sesungguhnya Allah benar-benar Kuasa
untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati). [QS.86:5-8]
Dari
uraian di atas, nyatalah bahwa pada hakikatnya landasan aqidah Islam adalah
Al-Qur’an dan Sunnah.
1.3. Landasan Religius Aqidah Islam
Sumber aqidah
Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah
dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam Sunnahnya wajib
diimani (diyakini dan diamalkan).[6]
Akal
pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami
nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba –kalau
diperlukan – membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an dan
Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat
terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal tidak akan mampu menggapai sesuatu yang
tidak terbatas. Misalkan, saat ditanya, kekal [sesuatu yang tidak terbatas] itu
sampai kapan?, maka akal tidak akan mampu menjawabnya karena akal itu terbatas.
Aqidah
itu mempunyai sifat keyakinan dan kepastian sehingga tidak mungkin ada peluang
bagi seseorang untuk meragukannya. Dan untuk mencapai tingkat keyakinan ini,
aqidah Islam wajiblah bersumber pada dua warisan tersebut [Al-Qur’an Hadits]
yang tidak ada keraguan sedikit pun padanya. Dan akal bukanlah bagian dari sumber
yang tidak ada keraguan padanya.
Dengan kata lain, untuk menjadi sumber
aqidah, maka asal dan indikasinya haruslah pasti dan meyakinkan, tidak mengandung
sedikut pun keraguan. Jika kita memandang Al-Qur’an dari segi wurud,
maka ia adalah pasti lagi meyakinkan karena telah ditulis selagi Rasulullah
masih hidup dan juga dihafal serta sejumlah besar sehabat yang mustahil mereka
sepakat berdusta untuk memalsukannya. Dan juga karena itu, tidak pernah timbul
perselisihan tentang kesahihan Al-Qur’an di kalangan umat Islam sejak dahulu
hingga sekarang.[7]
Tidak pernah ada yang berbeda pendapat bahwa Tuhan itu ada, bahwa Tuhan itu
satu, bahwa Tuhan itu mahakuasa.
Aqidah
atau iman itu mempunyai peran
dan pengaruh dalam hati. Ia mendorong manusia untuk melakukan amal-amal yang
baik dan meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Ia mengawal dan membimbing
manusia ke jalan yang lurus dan benar serta menjaganya untuk tidak tergelincir
ke dalam lembah kesesatan; dan juga menanamkan dalam dirinya kecintaan kepada
kebenaran dan kebaikan. Sesungguhnya hidayah Allah hanya diberikan kepada
manusia yang hatinya telah dimasuki iman.[8]
Allah berfirman dalam Surat
al-Taghabun/64:11 :
. . . ومن يؤمن بالله يهد قلبه . . .(التغابن
11)
“Dan barang
siapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberi hidayah kepada
hatinya.”
Pada
hakikatnya, iman yang dalam hati itu atau aqidah ibarat nur atau cahaya yang
menerangi hati dan sangat diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya di dunia.
Tanpa cahaya itu hati sangat gelap, sehingga akan sangat mudah orang
tergelincir dalam lembah maksiat. Ibarat orang yang berjalan pada waktu malam
tanpa lampu atau cahaya, ia akan sangat mudah terperosok ke dalam lobang atau
jurang. Demikianlah peranan iman yang merupakan bangunan bawah/fondasi utama
dari kepribadian yang kukuh dan selalu mengawal serta membuat hati agar selalu
baik dan bersih, sehingga dapat memberi bimbingan bagi manusia ke arah kehidupan
yang tenteram dan bahagia.
2. RUANG LINGKUP, KAIDAH, FUNGSI SERTA MANFAAT AQIDAH ISLAM
1. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
Meminjam sistimatika Hasaln al-Banna maka ruang lingkup pembahasan aqidah
adalah:
1. Ilahiyat.
Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan,
Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’al Allah
dan lainnya.
2. Nubuwat.
Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul,
termasuk tentang Kitab-Kitab Allah, mu’jizat, karamat dan lain sebagainya.
3. Ruhaniyat.
Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik
seperti Malaikat, Jin, Iblis, Syetan, Roh dan lain sebagainya.
4. Sam’iyyat.
Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat Sam’i
(dalil naqli berupa Al-Qur’an dan Sunnah) seperti alam barzakh,
akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.[9]
Di samping sistimatika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti
sistimatika arkanul iman (rukun iman) yaitu:
1.
Iman Kepada Allah SWT.
2.
Iman Kepada Malaikat (termasuk juga makhluk ruhani lain
seperti Jin, Iblis dan Syetan).
3.
Iman Kepada Kitab-Kitab Allah.
4.
Iman Kepada Nabi dan Rasul.
5.
Iman Kepada Hari Akhir.
6.
Iman Kepada Takdir Allah.
2. Delapan Kaidah Aqidah
1. Apa yang saya dapat dengan indera saya, saya yakin
adanya, kecuali bila akal saya mengatakan “tidak” berdasarkan pengalaman masa
lalu.
Misalnya,
bila saya untuk pertama kali melihat sepotong kayu di dalam gelas berisi air
putih kelihatan bengkok, atau melihat genangan air di tengah jalan
[fatamorgana], tentu saja saya akan membenarkan hal itu. Tapi bila terbukti
kemudian bahwa hasil penglihatan indera saya salah maka untuk kedua kalinya
bila saya melihat hal yang sama, akal saya langsung mengatakan bahwa yang saya
lihat tidak demikian adanya.
2. Keyakinan, di samping diperoleh dengan menyaksikan
langsung, juga bias melalui berita yang diyakini kejujuran si pembawa berita.
Banyak
hal yang memang tidak atau belum kita saksikan sendiri tapi kita meyakini
adanya. Misalnya anda belum pernah ke Thailand, Afrika atau Yaman, tapi anda
meyakini bahwa negeri-negeri tersebut ada. Atau tentang fakta sejarah, tentang
Daulah Abbasiyah, Umayyah atau tentang kerajaan Majapahit, dan lain-lain, anda
meyakini kenyataan sejarah itu berdasarkan berita yang anda terima dari sumber
yang anda percaya.
3. Anda
tidak berhak memungkiri wujudnya sesuatu, hanya karena anda tidak bisa menjangkaunya dengan indera anda.
Kemampuan alat indera memang sangat terbatas. Telinga
tidak bisa mendengar suara semut dari jarak dekat sekalipun, mata tidak bisa
menyaksikan semut dari jarak jauh. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa
memungkiri wujudnya sesuatu hanya karena inderanya tidak bisa menyaksikannya.
4.
Seseorang
hanya bisa menghayalkan sesuatu
yang sudah pernah dijangkau oleh inderanya.
Khayal manusiapun terbatas. Anda tidak akan bisa
menghayalkan sesuatu yang baru sama sekali. Waktu anda menghayalkan kecantikan
seseorang secara fisik, anda akan menggabungkan unsur-unsur kecantikan dari banyak
orang yang sudah pernah anda saksikan.
5.
Akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang terikat dengan
ruang dan waktu.
Tatkala mata mengatakan bahwa tiang-tiang listrik
berjalan waktu kita menyaksikannya lewat jendela kereta api akal dengan cepat
mengoreksinya. Tapi apakah akal bisa memahami dan menjangkau segala sesuatu?
Tidak. Karena kemampuan akalpun terbatas. Akal tidak bisa menjangkau sesuatu
yang tidak terikat dengan ruang dan waktu.
6.
Iman adalah fithrah setiap manusia.
Setiap manusia memiliki fithrah mengimani adanya Tuhan.
Pada saat seseorang kehilangan harapan untuk hidup, padahal dia masih ingin
hidup, fithrahnya akan menuntun dia untuk meminta kepada Tuhan. Misalnya bila
anda masuk hutan, dan terperosok ke dalam lubang, pada saat anda kehilangan harapan
untuk bisa keluar dari lubang tiu, anda akan berbisik “Oh Tuhan!”
7.
Kepuasan materil di dunia sangat terbatas.
Manusia tidak akan pernah puas secara materil. Seorang
yang belum punya sepeda ingin punya sepeda. Setelah punya sepeda ingin punya
motor dan seterusnya sampai mobil, pesawat, dan lain lain. Bila keinginan
tercapai maka akan berubah menjadi sesuatu yang “biasa”, tidak ada rasa
kepuasan pada keinginan itu. Selalu saja keinginan manusia itu ingin lebih dari
apa yang sudah di dapatnya secara materil. Dan keinginan manusia akan dipuaskan
secara hakiki di alam sesudah dunia ini.
8.
Keyakinan tentang hari akhir adalah konsekuensi logis
dari keyakinan tentang adanya Allah.
Jika anda beriman kepada Allah, tentu anda beriman dengan
segala sifat-sifat Allah, termasuk sifat Allah Maha Adil. Kalau tidak ada
kehidupan lain di akhirat, bisakah keadilan Allah itu terlaksana? Bukankah
tidak semua penjahat menanggung akibat kejahatannya di dunia ini? Bukankah
tidak semua orang yang berbuat baik merasakan hasil kebaikannya?. Bila anda
menonton film, ceritanya belum selesai tiba-tiba saja dilayar tertulis kalimat
“Tamat”, bagaimana komentar anda? Oleh sebab itu, iman anda dengan Allah
menyebabkan anda beriman dengan adanya alam lain sesudah alam dunia ini yaitu
Hari Akhir.
3. Fungsi Aqidah
Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi
bangunan yang akan didirikan harus semakin kokoh pula fondasi yang dibuat.
Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa
fondasi.[10]
Kalau ajaran Islam kita bagi dalam
sistimatika Aqidah Ibadah Akhlak dan Mu’amalat, atau Aqidah Syari’ah dan
Akhlak, atau Iman Islam dan Ihsan, maka ketiga/keempat aspek tersebut tidak
bisa dipisahkan sama sekali. Satu sama lain saling terkait. Seseorang yang
memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib,
memiliki akhlak yang mulia dan bermu’amalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak
akan diterima oleh Allah swt kalau tidak dilandasi dengan aqidah. Misalnya
orang nonmuslim memberi beras kepada seorang yang miskin, amal ibadah orang itu
nilainya NOL di hadapan Allah, Allah tidak menerima ibadahnya karena orang itu
tidak punya landasan aqidah.
Seseorang bisa saja merekayasa untuk
terhindar dari kewajiban formal, misalnya zakat, tapi dia tidak akan bisa
menghindar dari aqidah. Misalnya, aqidah mewajibkan orang percaya bahwa Tuhan
itu cuma satu yaitu Allah, orang yang menuhankan Allah dan sesuatu yang lain
[uang misalnya] maka akan kelihatan nanti, tidak bisa ditutup-tutupi, tidak
bisa direkayasa. Entah dari bicaranya yang seolah-olah uang telah membantu
hidupnya, tanpa uang dia tidak akan nisa hidup, atau dari perilakunya yang satu
minggu sekali datang ke pohon besar dan berdoa disitu.
Itulah sebabnya kenapa Rasulullah SAW selama 13 tahun periode Mekah
memusatkan dakwahnya untuk membangun aqidah yang benar dan kokoh. Sehingga
bangunan Islam dengan mudah berdiri di periode Madinah. Dalam dunia nyatapun
ternyata modal untuk membangun sebuah bangunan itu lebih besar tertanam di fondasi.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah
maka syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.
KESIMPULAN
Dalam keseluruhan bangunan Islam, aqidah dapat diibaratkan sebagai fondasi.
Di mana seluruh komponen ajaran Islam tegak di atasnya. Aqidah merupakan
beberapa prinsip keyakinan. Dengan keyakinan itulah seseorang termotivasi untuk
menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya. Karena sifatnya keyakinan maka materi
aqidah sepenuhnya adalah informasi yang disampaikan oleh Allah Swt. melalui
wahyu kepada nabi-Nya, Muhammad Saw.
Pada hakikatnya filsafat dalam
bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Allah menganugerahkan
kebijakan dan kecerdasan berfikir kepada manusia untuk mengenal adanya Allah
dengan memperhatikan alam sebagai bukti hasil perbuatan-Nya Yang Maha Kuasa.
Hasil perbuatan Allah itu serba teratur, cermat dan berhati-hati.
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an
dan Sunnah. Akal pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi
memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba –kalau
diperlukan – membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an dan
Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat
terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal tidak akan mampu menggapai sesuatu yang tidak
terbatas.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah
maka syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. H. Yunahar
Ilyas, Lc., Kuliah Aqidah Islam,
Yogyakarta, LPPI, 1992.
Dr. Ahmad Daudy, Kuliah
Aqidah Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1997.
Al-Jazairy, Abu
Bakar Jabir, Aqidah al-Mukmin, Cairo, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah,
1978.
Al-Banna Hasan, Majmu’atu
ar-Rasail, Muassasah ar-Risalah Beirut, tanpa tahun.
Drs. Edi Suresman,
A.Md., Aqidah Islam, Malang, IKIP, 1993.
[1]
Drs. H. Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: 1992), h. 1
[2]
Al-Banna, Majmu’atu ar-Rasail,(Muassasah ar-Risalah Beirut: tanpa tahun),
h. 465
[3]
Al-Jazairy, Aqidah al-Mukmin, (Cairo: 1978), h. 21
[4]
Drs. Edu Suresman, Aqidah Islam, (Malang: 1993), h. 1
[5] Ibid, h. 21
[6] Drs. H. Yunahar Ilyas, Kuliah
Aqidah Islam, (Yogyakarta: 1992), h. 6
[7] Dr.
Ahmad Daudy, Kuliah Akidah Islam, (Jakarta: 1997), h. 23
[8]
Ibid, h. 25
[9] Drs. H. Yunahar Ilyas, Kuliah
Aqidah Islam, (Yogyakarta: 1992), h. 5
[10] Drs. H. Yunahar Ilyas, Kuliah
Aqidah Islam, (Yogyakarta: 1992), h. 9
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete