وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً
وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Ar-Rum 21).
PENULIS: Wilta Aulia Rahmat
PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat taufik dan hidayah-Nya
sehingga Penulisan BLOG ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
BLOG saya kali aul-al-ghifary.blogspot.com membahas kajian fiqh berjudul "Munakahat",
didalam penulisan saya ini terdapat beberapa pembahasan diantaranya, Pengertian
Perkawinan, Hukum Pernikahan, Rukun dan Syarat Sah Nikah, Wanita Yang Haram Dinikahi, serta Hikmah Pernikahan atau Perkawinan.
Saya menyadari banyak kekurangan dalam
penulisan BLOG ini, itu dikarenakan kemampuan saya yang terbatas. Namun
berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari rekan-rekan saya serta bantuan dari berbagai pihak, akhirnya penulisa BLOG ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Saya berharap dengan penulisan BLOG
ini dapat bermanfaat khususnya bagi saya sendiri dan bagi para pembaca pada
umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan dan meningkatkan prestasi
dimasa yang akan datang.
PENDAHULUAN
Munakahat berarti pernikahan atau
perkawinan. Kata dasar pernikahan adalah nikah. Menurut kamus bahasa Indonesia,
kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Pernikahan adalah suatu lembaga
kehidupan yang disyariatkan dalam agama Islam. Pernikahan merupakan suatu
ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk
membentuk keluarga yang bahagia dlan mendapatkan keturunan yang sah. Nikah
adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah
SWT. Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat.
Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum
dalam dunia hukum Islam Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam
darimana asal konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang
kemudian menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat perkawinan
yang akan coba kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat.
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu
perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut
hukum agama/fiqih munakahat atau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam). Bila salah
satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya
perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat
dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.
Berawal dari garis perbandingan antara
kedua produk hukum tersebut, saya mencoba membahas perbandingan antara
keduanya sehingga dapat diketahui lebih dalam hubungan antara keduanya.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan secara bahasa : kumpulan,
bersetubuh, akad secara syar’i : dihalalkannya seorang lelaki dan untuk
perempuan bersenang-senang, melakukan hubungan seksual, dll .
Kata nikah berasal dari bahasa Arab yang
didalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut
istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki -
laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram sehingga dengan akad tersebut
terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan.
Hubungan antara seorang laki - laki dan
perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan
untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan
antara laki-laki dan perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan membawa
keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki-laki maupun
perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada
disekeliling kedua insan tersebut.
Berbeda dengan pergaulan antara laki-laki
dan perempuan yang tidak dibina dengan sarana pernikahan akan membawa
malapetaka baik bagi kedua insan itu, keturunannya dan masyarakat
disekelilingnya. Pergaulan yang diikat dengan tali pernikahan akan membawa
mereka menjadi satu dalam urusan kehidupan sehingga antara keduanya itu dapat
menjadi hubungan saling tolong menolong, dapat menciptkan kebaikan bagi
keduanya dan menjaga kejahatan yang mungkin akan menimpa kedua belah pihak itu.
Dengan pernikahan seseorang juga akan terpelihara dari kebinasaan hawa
nafsunya.
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa
Ayat 3 sebagai berikut :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ
وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya". (An-Nisa: 3).
Ayat ini memerintahkan kepada laki-laki yang sudah mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam
ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.
B. Hukum Nikah
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah
menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
- Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
- Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
- Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah.
- Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya.
- Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.
C. Rukun dan Syarat Sah Nikah
Akad nikah tidak akan sah kecuali
jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali
dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan
mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al
Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang
kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat
nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a. Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b. Menyebut
jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai
pria adalah :
a. Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka )
b. Bukan
mahram dari calon isteri
c. Tidak dipaksa.
d. Orangnya
jelas.
e. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai
wanita adalah :
a. Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf
b. Tidak ada
halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahram dari calon suami).
c. Tidak dipaksa.
d. Orangnya
jelas.
e. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
4. Adanya wali.
Syarat wali adalah :
a. Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b. Adil
c. Tidak dipaksa.
d. Tidak sedang
melaksanakan ibadah haji.
Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai
berikut:
a. Ayah
b. Kakek
c. Saudara laki-laki sekandung
d. Saudara
laki-laki seayah
e. Anak
laki-laki dari saudara laki – laki sekandung
f. Anak
laki-laki dari saudara laki – laki seayah
g. Paman
sekandung
h. Paman
seayah
i. Anak laki-laki dari paman sekandung
j. Anak laki-laki dari paman seayah.
k. Hakim
5. Adanya saksi (2 orang pria).
Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad
nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya
2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut menjadi sah.
Syarat saksi adalah :
a. Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b. Adil
c. Dapat mendengar dan melihat.
d. Tidak
dipaksa.
e. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
a. Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari
seorang suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah.
Firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 4:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya." (QS. An-Nisaa:4)
b. Mahar
wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik
mertua.
c. Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya
persetubuhan.
d. Mahar
dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e. Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan
perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit,
tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat.
D. Wanita yang Haram di Nikahi
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا
وَسَاءَ سَبِيلًا
"Dan janganlah kamu
kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada
masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)". (QS. An-Nisaa:22).
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ
وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي
دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ
سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi
jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan),
maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nisaa:23).
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ
مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ
بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
"Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian
(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk
berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang
kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. An-Nisaa:24).
Dalam tiga ayat diatas Allah SWT
menyebutkan perempuan-perempuan yang haram dinikai. Dengan mencermati firman
Allah tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa tahrim, pengharaman’ ini terbagi
dua:
Pertama: Tahrim Muabbad (pengharaman yang
berlaku selama-lamanya), yaitu seorang perempuan tidak boleh menjadi isteri
seorang laki-laki di segenap waktu.
Kedua: Tahrim Muaqqat (pengharaman yang
bersifat sementara), jika nanti keadaan berubah, gugurlah tahrim itu dan menjadi halal.
Sebab-sebab tahrim muaqqad (pengharaman
selamanya) ada tiga:
Pertama karena nasab, kedua haram
mushaharah (ikatan perkawinan) dan ketiga karena penyusuan.
Pertama: perempuan-perempuan yang haram
dinikahi karena nasab adalah :
1. Ibu
2. Anak
perempuan
3. Saudara
perempuan
4. Bibi dari
pihak ayah (saudara perempuan ayah)
5. Bibi dari
pihak ibu (saudara perempuan ibu)
6. Anak
perempuan saudara laki-laki (keponakan)
7. Anak
perempuan saudara perempuan).
Kedua: perempuan-perempuan yang haram
diwakin karena mushaharah adalah :
1. Ibu istri
(ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul "bercampur" lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan puterinya,
maka sang ibu menjadi haram dinikahi atas menantu tersebut.
2. Anak
perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu, manakala
akad nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum sempat
(mengumpulinya), maka anak perempuan termasuk halal bagi mantan suami ibunya
itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, ”Tetapi kalian belum bercampur
dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian campur), maka tidak berdosa kalian
menikahinya.” (An-Nisaa:23).
3. Isteri
anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar
dilangsungkannya akad nikah.
4. Isteri
bapak (ibu tiri) diharamkan atas anak menikahi isteri bapak dengan sebab hanya
sekedar terjadinya akad nikah dengannya.
Ketiga: perempuan-perempuan yang haram
dikawini karena sepersusuan.
Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu
kalian yang pernah menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan.”
(An-Nisaa’:23).
Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan
haram sebagaimana yang menjadi haram karena kelahiran.” (Muttafaqun ’alaih:
Fathul Bari IX:139 no:5099, Muslim II:1068 no:1444, Tirmidzi II:307 no:1157,
’Aunul Ma’bud VI:53 no:2041 dan Nasa’i VI:99). Hal.570
Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati
kedudukan ibu kandung, dan semua orang yang haram dikawini oleh anak laki-laki
dari jalur ibu kandung, haram pula dinikahi bapak sepersusuan, sehingga anak
yang menyusui kepada orang lain haram kawin dengan:
1. Ibu susu
(nenek)
2. Ibu susu (nenek dari pihak Ibu susu)
3. Ibu Bapak
susu (kakek)
4. Saudara
perempuan ibu susu (bibi dari pihak ibu susu)
5. Saudara
perempuan bapak susu
6. Cucu
perempuan dari Ibu susu
7. Saudara
perempuan sepersusuan
Persusuan Yang Menjadikan Haram
Dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah saw.
Bersabda, ”Tidak bisa menjadikan haram, sekali isapan dan dua kali
isapan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2148, muslim II: 1073 no:1450,Tirmidzi II:
308 no: 1160’Aunul Ma’bud VI: 69 no: 2049, Ibnu Majah I: 624 no:1941, Nassa’i
VI:101).
Dari Aisyah r.a berkata, ”Adalah
termasuk ayat Qur’an yang diwahyukan. Sepuluh kali penyusuan yang tertentu
menjadi haram. Kemudian dihapus (ayat) ayat yang menyatakan lima kali penyusuan
tertentu sudah menjadi haram. Kemudian Rasulullah saw wafat, dan ayat Qur’an
itu tetap di baca sebagai bagian dari al-Qur’an.” (Shahih: Mukhtashar Muslim
no:879m Muslim II:1075 no:1452, ’Aunul Ma’bud VI:67 no:2048, Tirmidzi II:308
no:1160, Ibnu Majah II:625 no:1942 sema’na dan Nasa’i VI:100). Dipersyaratkan
hendaknya penyusuan itu berlangsung selama dua tahun, berdasar firman Allah:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
"Para Ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan." (QS. Al-Baqarah :233)
Dari Ummu Salamah r.a bahwa Rasulullah
saw. bersabda, ”Tidak menjadi haram karena penyusuan, kecuali yang bisa
membelah usus-usus di payudara dan ini terjadi sebelum disapih.” (Shahih:
Irwa-ul Ghalil no:2150 dan Tirmidzi II:311 no:1162).
Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi
Untuk Sementara Waktu
1. Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara
Allah SWT berfirman, "Dan menghimpun (dalam
pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau." (An-Nisaa’:23).
2. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari pihak
ibunya.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw.
bersabda, ”Tidak boleh dikumpulkan (dalam pernikahan) antara isteri bibinya
dari pihak ayah dan tidak (pula) dari ibunya.” (Muttafaqun ’alaih: II:160,
Tirmidzi II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621 no:1929 dengan lafadz yang sema’na
dan Nasa’i VI:98).
3. Isteri
orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.
"Dan (diharamkan juga kamu mengawini)
wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki." (An-Nisaa’ :24).
Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini
wanita-wanita yang berstatus sebagai isteri orang lain, terkecuali wanita yang
menjadi tawanan perang. Maka ia halal bagi orang yang menawannya setelah
berakhir masa iddahnya meskipun ia masih menjadi isteri orang lain. Hal ini
mengacu pada hadits dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus
pasukan negeri Authas. Lalu mereka berjumpa dengan musunya, lantas mereka
memeranginya. Mereka berhasil menaklukkan mereka dan menangkap sebagian di
antara mereka sebagai tawanan. Sebagian dari kalangan sahabat Rasulullah saw
merasa keberatan untuk mencampuri para tawanan wanita itu karena mereka
berstatus isteri orang-orang musyrik. Maka kemudian Allah SWT pada waktu itu
menurunkan ayat, "Dan (diharamkan pula kamu mengawini) wanita-wanita bersuami
kecuali budak-budak yang kamu miliki". Yaitu mereka halal kamu campuri bila
mereka selesai menjalani masa iddahnya. (Shahih: Mukhtashar Muslim no:837,
Muslim II:1079 no:1456, Trimidzi IV: 301 no:5005, Nasa’i 54 VI:110 dan ’Aunul
Ma’bud VI:190 no:2141).
4. Wanita
yang dijatuhi talak tiga
Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama
sehingga ia kawin dengan orang lain dengan perkawinan yang sah. Allah SWT
berfirman:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ
زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ
يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
"Kemudian jika si suami mentalaqnya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali, jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui." (QS. Al-Baqarah :230).
5. Kawin
dengan wanita pezina
Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi
wanita pezina, demikian juga tidak halal bagi seorang perempuan kawian dengan
seorang laki-laki pezina, terkecuali masing-masing dari keduanya tampak jelas
sudah melakukan taubat nashuha. Allah menegaskan:
الزَّاني لا يَنْكِحُ إِلاَّ زانِيَةً
أَوْ مُشْرِكَةً وَ الزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُها إِلاَّ زانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَ
حُرِّمَ ذلِكَ عَلَى الْمُؤْمِن
"Laki-laki yang berzina tidak
boleh mengawini kecuali perempuan berzina atau perempuan musryik; dan perempuan
yang berzina tidak boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina atau
laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin." (QS. An-Nuur : 3).
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayanya dari
datuknya bahwa Martad bin Abi Martad al-Ghanawi pernah membawa beberapa tawanan
perang dari Mekkah dan di Mekkah terdapat seorang pelacur yang bernama ’Anaq
yang ia adalah teman baginya. Ia (Martad) berkata, ”Saya datang menemui Nabi
saw. lalu kutanyakan kepadanya ”Ya Rasulullah bolehkah saya menikah dengan
’Anaq Mak Beliau diam, lalu turunlah ayat, ”Dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.”
Kemudian Beliau memanggilku kembali dan membacakan ayat itu kepadaku, lalu
bersabda, ”Janganlah engkau menikahinya.” (Hasanul Isnad: Shahih Nasa’i
no:3027, ’Aunul Ma’bud VI:48 no: 2037, VI:66 dan Tirmidzi V:10 no:3227).
E. Hikmah Pernikahan / Perkawinan
Islam tidak mensyari’atkan sesuatu
melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar.
Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi
pelaksananya :
1. Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS.
Ar Ruum : 21)
2. Sarana menggapai kedamaian &
ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban
manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
Rasulullah berkata : “Nikahlah, supaya kamu
berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya saya akan membanggakan banyaknya jumlah
ummatku.” (HR. Baihaqi)
4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari
dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok
pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka
kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.
Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai
wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum)
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan
yang disyariatkan dalam agama Islam. Pernikahan merupakan suatu ikatan
yang menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan mendapatkan keturunan yang sah.
Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal
dan pembawaan manusia sebagai makhluk
Allah SWT.
Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan
akhirat. Hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan
dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian, hukum, nikah
dapat berubah menjadi sunah, wajib,makruh,atau
haram.
Tujuan pernikahan menurut Islam adalah
untuk memenuhi hajat manusia (prig terhadap wanita atau sebaliknya) dalam
rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia sesuai dengan ketentuan-ketentuan
agama Islam.
B. Saran
Pernikahan merupakan suatu ikatan
yang menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk
membentuk keluarga yang bahagia dalam mendapatkan keturunan yang
sah.
Maka dari itu,
kita harus mengetahui segala sesuatu, mulai dari hukum nikah, rukun
nikah, kewajiban suami istri setelah menikah, hikmah menikah, agar kita tidak
sekali-kali bila ada kesalah pahaman di dalam keluarga
jangan terus membuat keputusan untuk bercerai, karena bercerai itu tidak
disukai oleh Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantoro Sulaiman, SE, Agenda Pengantin,
Hidayatul Insan, Solo, 2002
Rasjid, Sulaiman, H., Fikh Islam, Sinar
Baru Algesindo, Bandung, 1996
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Kencana: Jakarta. 2007
Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka
Amani: Jakarta. 2002
http://www.kosmaext2010.com/makalah-fiqih-makalah-munakahat-perkawinan.php
No comments:
Post a Comment