Sengaja tulisan ini saya disusun karena melihat fenomena perlakuan
terhadap kuburan yang telah melampaui batas belakangan ini. Apalagi jika
kubur tersebut adalah kuburan wali, sunan, kyai ataukah ustadz kondang,
so pasti begitu diistimewakan.
Lihat saja bagaimana tanah
kuburan diperlakukan secara berlebihan hingga bisa membuat kuburnya
amblas. Keadaan kubur tersebut dibuat seperti rumah atau bahkan ada yang
seperti istana. Kalau kita bertanya di batin, apakah pantas kubur
diistimewakan seperti itu? Apa dengan membuat kuburan yang mewah dengan
bangunan yang istimewa di atasnya dapat bermanfaat untuk mayit yang
berada dalam kubur? Tentu mereka tidak butuh perlindungan sebagaimana
perlindungan atap yang kita butuh di rumah kita. Begitu pula mereka
tidak butuh penerangan seperti cahaya yang selalu kita butuh di
kegelapan. Karena sekarang alam kita dan alam mayit itu berbeda. Kita
tidak tahu kebutuhan mereka karena hal ini masuk ranah gaib.
Sekarang, akan saya bahas larangan mengistimewakan kuburan dengan mendirikan bangunan di atasnya.
Larangan Berlebihan Terhadap Kubur
Dari Jundab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ
أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ
ذَلِكَ
“Ingatlah bahwa orang sebelum kalian, mereka telah menjadikan
kubur nabi dan orang sholeh mereka sebagai masjid. Ingatlah, janganlah
jadikan kubur menjadi masjid. Sungguh aku benar-benar melarang dari
yang demikian” (HR. Muslim no. 532).
Ummu Salamah pernah menceritakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai
gereja yang ia lihat di negeri Habaysah yang disebut Mariyah. Ia
menceritakan pada beliau apa yang ia lihat yang di dalamnya terdapat
gambar-gambar. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ
الْعَبْدُ الصَّالِحُ – أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ – بَنَوْا عَلَى
قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ ، أُولَئِكَ
شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ
“Mereka adalah kaum yang jika hamba atau orang shaleh mati di
tengah-tengah mereka, maka mereka membangun masjid di atas kuburnya.
Lantas mereka membuat gambar-gambar (orang shaleh) tersebut. Mereka
inilah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah” (HR. Bukhari no. 434).
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى ، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا
“Allah melaknat orang Yahudi dan Nashrani di mana mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid” (HR. Bukhari no. 1330 dan Muslim no. 529).
Hadits-hadits di atas menunjukkan larangan bersikap
berlebihan terhadap kubur, di antara bentuknya adalah menjadikan kubur
menjadi satu dengan masjid.
Larangan Membuat Bangunan di Atas Kubur
Larangan yang dimaksud adalah dan membuat bangunan atau rumah atau memasang kijing (marmer) di atas kubur.
Pertama, perkataan ‘Ali bin Abi Tholib,
عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ
قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا
بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ
تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
Dari Abul Hayyaj Al Asadi, ia berkata, “‘Ali bin Abi Thalib berkata
kepadaku, “Sungguh aku mengutusmu dengan sesuatu yang Rasulullah
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mengutusku dengan perintah
tersebut. Yaitu jangan engkau biarkan patung (gambar) melainkan engkau
musnahkan dan jangan biarkan kubur tinggi dari tanah melainkan engkau
ratakan.” (HR. Muslim no. 969).
Syekh Musthafa Al Bugha -pakar Syafi’i saat ini- mengatakan, “Boleh
kubur dinaikkan sedikit satu jengkal supaya membedakan dengan tanah,
sehingga lebih dihormati dan mudah diziarahi.” (At Tadzhib, hal. 95). Hal ini juga dikatakan oleh penulis Kifayatul Akhyar, hal. 214.
Kedua, dari Jabir, ia berkata,
عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ
وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang dari memberi semen pada kubur, duduk di atas kubur dan memberi
bangunan di atas kubur.” (HR. Muslim no. 970).
Kalam Syafi’iyah
Matan yang cukup terkenal di kalangan Syafi’iyah yaitu matan Abi Syuja’ (matan Taqrib) disebutkan di dalamnya,
ويسطح القبر ولا يبني عليه ولا يجصص
“Kubur itu mesti diratakan, kubur tidak boleh dibangun bangunan di
atasnya dan tidak boleh kubur tersebut diberi kapur (semen).” (Mukhtashor Abi Syuja’, hal. 83 dan At Tadzhib, hal. 94).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang sesuai ajaran Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
kubur itu tidak ditinggikan dari atas tanah, yang dibolehkan hanyalah
meninggikan satu jengkal dan hampir dilihat rata dengan tanah. Inilah
pendapat dalam madzbab Syafi’i dan yang sepahaman dengannya.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 35).
Imam Nawawi di tempat lain mengatakan, “Terlarang memberikan semen
pada kubur, dilarang mendirikan bangunan di atasnya dan haram duduk di
atas kubur. Inilah pendapat ulama Syafi’i dan mayoritas ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 37).
Taqiyyuddin Abu Bakr Muhammad Al Hishni Al Husaini Ad Dimasyqi, penulis Kifayatul Akhyar
berkata, “Kubur boleh dinaikan satu jengkal saja supaya dikenali itu
kubur dan mudah diziarahi, juga agar lebih dihormati oleh peziarah.”
Syekh Taqiyuddin juga mengatakan bahwa tasthih (meratakan kubur) lebih utama daripada tasnim (meninggikannya). Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 214.
Di halaman yang sama, Syaikh Taqiyyuddin juga berkata bahwa dilarang
memberi semen pada kubur dan menulis di atasnya dan juga terlarang
mendirikan bangunan di atas kubur.
Mengenai meninggikan kubur juga disinggung oleh Ibnu Daqiq Al‘Ied ketika menyarah kitab At Taqrib. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Meratakan kubur dengan tanah lebih afdhal daripada meninggikannya
karena demikianlah yang ada pada kubur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu juga yang terlihat pada kubur para sahabat Nabi.” (Tuhfatul Labib, 1: 367).
Muhammad bin Muhammad Al Khatib, penyusun kitab Al Iqna’
mengatakan, “Dilarang mendirikan bangunan di atas kubur maksudnya adalah
mendirikan qubah seperti rumah. Begitu pula dilarang memberi semen pada
kubur karena ada hadits larangan dalam Shahih Muslim.” (Al Iqna’, 1: 360).
Dari keterangan di atas, nampaklah jelas bahwa kubur tidaklah perlu
dibuat mewah dengan bangunan di atasnya, apalagi dalam madzhab Syafi’i
-yang jadi pegangan para kyai di negeri kita- melarang demikian.
Perhatikan saja bagaimana kubur salafush shaleh. Lihat saja jika kita
pergi ke Baqi’ yang berada di luar dekat Masjid Nabawi, kita akan
saksikan kubur para sahabat tidaklah istimewa, kubur mereka begitu
sederhana. Mengistimewakan kubur seperti itu apalagi kubur wali dan
orang sholeh dapat mengantarkan pada kesyirikan. Dan setiap perantara
menuju syirik dilarang diterjang dalam Islam. Itulah mengapa membangun
bangunan di atas kubur dilarang. Wallahu a’lam.
Semoga Allah menganugerahkan ilmu yang bermanfaat dan selalu mengokohkan akidah kita.
Referensi:
Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al Khatib, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, Mesir.
At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghayah wat Taqrib, Syaikh Prof. Dr. Musthafa Al Bugha, terbitan Darul Musthafa, cetakan ke-11, tahun 1428 H.
Mukhtashar Abi Syuja’ (Matan Al Ghayah wat Taqrib), Al Imam Al ‘Allamah Ahmad bin Al Husain Al Ashfahaniy Asy Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.
Kifayatul Akhyar fii Halli Ghayatil Ikhtishar, Taqiyyuddin Abu
Bakr Muhammad bin ‘Abdil Mu’min Al Hishni Al Husaini Ad Dimasyqi Asy
Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
Tuhfatul Labib fii Syarh At Taqrib, Ibnu Daqiq Al ‘Ied, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1429 H.
No comments:
Post a Comment