“Jauhilah
perkara baru dalam agama karena tiap-tiap perkara baru dalam agama itu bid’ah
dan tiap-tiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Daud)
PENULIS: Wilta Aulia Rahmat
Part 1
HUKUM BERMAZHAB
PENDAHULUAN
A. Sejarah Mazhab
Dan Hukum Bermazhab
Setelah
Rasulullah SAW meninggal dunia banyak para sahabat yang berpindah dari satu
negeri ke negeri yang lain, terutama pada masa pemerintahan Bani Umaiyyah.
Disetiap negeri yang mereka diami, mereka mengajarkan apa yang mereka peroleh
dari Rasulullah kepada penduduk dimana mereka tinggal. Diantara kota-kota tempat tinggal para
sahabat tersebut akhirnya ada yang berkembang menjadi pusat perkembangan
ilmu-ilmu keislaman yang diantaranya adalah fiqh Islam.
Kota-kota tersebut antara lain:
1. Madinah
Di kota ini berdiam seluruh Khulafaurrasyidin dan sejumlah besar Ulama
sahabat. Diantaranya adalah Abdullah bin Abbas (wafat 68 H), Abdullah bin Umar
(wafat 73 H) sebelum keduanya pindah ke Makkah, Zaid bin Tsabit (wafat 45 H),
dll. Dari merekalah para Ulama tabiin (generasi sesudah sahabat) seperti said
bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman, Sulaiman bin Yassar
dll yang tinggal di Madinah menimba ilmu.
Imam Malik adalah seorang Ulama Madinah yang hidup setelah generasi
tabiin tersebut. Beliau adalah seorang mujtahid dan Ulama besar yang diikuti
oleh banyak orang, yang kepada beliaulah mazhab Maliki di nisbahkan. Mazhab
Maliki ini juga dikenal dengan mazhab Ahlul Hadits. Sebab mereka lebih banyak
mendasarkan ijtihad mereka pada hadits-hadits nabi yang banyak mereka terima
dari para tabiin yang meriwayatkannya dari Rasulullah.
2. Makkah
Di antara sahabat besar yang tinggal di Makkah adalah Abdullah bin Abbas
dan Abdullah bin Umar. Murid-murid beliau dari kalangan tabiin diantaranya
adalah Atha’ bin Rabbah (wafat 114 H), Thawus bin Kaisan (wafat 124 H), Sufyan
bin Uyainah (wafat 198 H), Muslim bin Khalid al-Jauzi dll. Muslim bin Khalid
ini adalah guru Imam Syafi’i sebelum beliau pergi berguru kepada Imam Malik di
Madinah. Sedangkan Sufyan bin Uyainah adalah salah satu guru Imam Ahmad bin
Hambal.
3. Kufah
Di antara sahabat yang terkenal dikota ini adalah Abdullah bin Mas’ud
(wafat 32 H) dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H). Di antara para murid mereka
adalah: Alqomah bin Qais Annakha’i (wafat 60 H)
Kepada merekalah para fuqaha Kufah seperti Ibrahim Annakha’i, Sufyan
Ats-Tsauri, Abdullah bin Syubrumah dan Imam Abu Hanafiah belajar ilmu fiqh.
Namun hanya Abu Hanafiahlah yang kemudian mempunyai pengikut hingga sekarang.
Mazhab beliau dikenal dengan mazhab Hanafi atau mazhab Ahlu Arra’yi. Sebab
beliau dalam ijtihadnya banyak menggunakan ra’yu atau qiyas dan mengembangkan
mazhabnya yang sampai sekarang banyak dikenal oleh kebanyakan bangsa Mesir,
Turki dan India. Ulama Kufah terkenal dengan mazhab qiyasnya karena mereka
dalam memahami fiqh banyak menggunakan qiyas.
Ahmad bin Hambal tersebut
akhirnya dikembangkan dan dibukukan oleh pengikut-pengikutnya. Karena
pengikut-pengikut mereka masih eksis hingga saat ini. Hasil-hasil ijtihad dan
pendapat para Imam itulah yang kita kenal dengan mazhab.
Sebenarnya selain mereka (mazhab empat) ada juga mazhab lain tapi sayang
mazhab mereka kurang dikenal pendapat-pendapatnya, tidak dibukukan seperti
mazhab yang empat. Akan tetapi kita menemukan pendapat-pendapat mereka dalam
kitab-kitab mazhab yang masyur. Diantara mazhab yang kurang dikenal itu ialah:
mazhab Auza’iyyah yang dinisbahkan kepada Abdurrahman Al Auza’i (wafat 113 H).
Mazhab Atstsauri yang dinisbahkan kepada Imam Sufyan Atstsauri (wafat 161 H)
dll.
PEMBAHASAN
A. HUKUM BERMAZHAB
Pada beberapa tahun yang silam di
Jepang tepatnya di Tokyo diadakan koferensi Islam. Dalam acara itu ada
seseorang yang menanyakan bagaimana hukumnya bermazhab, apakah wajib bagi
seseorang untuk mengikuti salah satu mazhab yang empat. Pada kesempatan itu
tampil Syaikh Muhammad Sulthan Alma’sumi Al Khajandi, seseorang pengajar di
Masjidil Haram Makkah. Beliau menyerukan kaum muslimin untuk kembali kepada
yang pernah dilakukan oleh umat yang terbaik para sahabat. Beliau menyeru untuk
tidak bertaqlid buta (fanatik) pada salah satu mazhab tertentu. Akan tetapi
dipersilakan mengambil dari tiap mujtahid atau ahli ijtihad dengan berdasarkan
pada Al Quran dan Sunnah sebagai rujukan. Sebab sebenarnya mazhab-mazhab adalah
pendapat dan pemahaman orang-orang berilmu dalam beberapa masalah. Pendapat,
ijtihad dan pemahaman ini tidak diwajibkan oleh Allah dan rasul-Nya untuk
mengikutinya. Karena di dalamnya terdapat kemungkinan betul dan salah. Karena
tidak ada pendapat yang seratus persen benar kecuali yang berasal dari
Rasulullah SAW.
Sementara itu mengikuti salah satu
mazhab yang empat atau lainnya bukanlah persoalan wajib atau sunnah.seseorang
muslim tidak diharuskan mengikuti salah satunya. Dan bahkan orang yang
mengharuskan untuk mengikuti salah satunya sebenarnya ia seseorang fanatik.
Begitulah menurut syekh Sulthan.
Lain lagi pendapat syekh Ramadhan Al
Buthi dalam bukunya “Alla Mazhabiyyah, Akhtaru Bida’in Fil Islam” (tidak
bermazhab adalah bid’ah paling berbahaya dalam Islam). Beliau berpendapat wajib
bagi seorang muslim untuk mengikuti salah satu mazhab yang masyur (mazhab
empat). Sebab mazhab-mazhab itu sudah teruji kevalidannya. Namun kendati begitu
tidak boleh bagi yang telah mengikuti salah satu mazhab tertentu menyalahkan
orang diluar mazhabnya.
Dalam buku tersebut beliau membagi
kaum muslimin sekarang menjadi dua golongan. Golongan muttabi’ dan golongan
muqallid. Orang yang telah faham (mengerti) Al Quran dan sunnah wajib mengikuti
mazhab tertentu sebagai kerangka berfikir, supaya ia tidak jatuh pada
kesalahan. Golongan inilah yang disebut muttabi’ sementara orang yang belum
faham terhadap Al Quran dan sunnah diharuskan mengikuti Ulama yang dianggap
mengerti dalam masalah agama. Golongan yang kedua ini disebut muqallid. Secara
implisit beliau meniadakan kelompok yang ketiga, yaitu kelompok mujtahidin.
Dengan kata kata lain beliau menutup pintu ijihad untuk masa sekarang. Inilah
yang kemudian ditentang oleh Muhammad Abu Abbas dalam bukunya “Al Mazhahibul Muta’ashshabah
hiyal Bid’ah aw Bid’atut Ta’ashshubi Al Mazhabi” beliau berpendapat justru
pintu ijtihad masih terbuka sampai sekarang dengan alasan Nabi telah membuka
pintu ijtihad dan beliau tidak pernah menutupnya. Karenanya tidak ada
seorangpun yang berhak menutup pintu ijtihad tersebut.
Oleh karena itu Muhammad Abu Abbas
membagi kaum muslimin pada tiga golongan, yaitu mujtahid, muttabi dan muqallid.
Bagi mereka yang telah mampu untuk
mengetahui dan mengkaji hukum-hukum langsung dari Al Quran dan Sunnah walaupun
hanya dalam masalah tertentu maka haram baginya bertaklid dalam masalah
tersebut (golongan mujtahid). Sedankan bagi mereka yang hanya mampu untuk
mengkaji pendapat-pendapat para ulama serta mengetahui metode istimbath
(pengambilan hukum) mereka dari Al Quran dan Sunnah maka kewajiban mereka
adalah ittiba’. Jelasnya ittiba’ –mengutip perkataan abu Syamah- adalah
mengikuti pendapat seorang ulama lantaran nyata dalilnya dan shah mazhabnya.”
Adapun bagi orang yang betul-betul
awam (tidak mengerti dalam masalah agama) BOLEH bagi mereka bertaklid dengan syarat, sebagaimana dikatakan Imam Asysyatibi dalam ali’tishom- (pertama) tidak boleh
bertaklid kecuali pada orang yang benar-benar ahli dibidang agama. (kedua)
tidak boleh mengikat dirinya serta menutup dirinya dari mengikuti selain
mazhabnya, jika telah jelas padanya bahwa pendapat mazhabnya itu salah, maka
wajib baginya mengikuti yang telah jelas kebenarannya.
Pendapat yang terakhir inilah yang
wasath (pertengahan). Sebab mengharamkan taklid secara mutlak adalah menafikkan
mereka yang benar-benar awam terhadap agama. Sedangkan mewajibkan taklid dan
menutup pintu ijtihad berarti menghilangkan universalitas Islam yang senantiasa
relevan terhadap perkembangan zaman. Padahal banyak hal-hal baru yang tak bisa
dijawab dan disikapi kecuali dengan ijtihad. Jelasnya setiap orang perlu
ditempatkan sesuai dengan kemampuan dan kondisinya.
Berarti fenomena bermazhab adalah
sesuatu yang perlu dilihat berdasarkan kondisi orang per orang yang tentunya
tidak bisa digeneralisir. Tidak bisa diharuskan secara mutlak dan tidak bisa
dilarang secara mutlak pula. Berkaitan dengan bermazhab ini ada dua hal
yang perlu dijauhi oleh setiap muslim:
1.
Fanatisme (ta’ashshub) terhadap suatu mazhab tertentu seraya memonopoli
kebenaran apalagi jika sampai menimbulkan perpecahan. Sebab setiap orang
kecuali Nabi memiliki potensi untuk salah, walaupun ia seorang mujtahid.
Karenanya Rasul bersabda: “Barang siapa berijtihad dan ia benar maka baginya
dua pahala, dan barang siapa berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu
pahala”
2.
Tatabbu’ rukhas atau mencari-cari pendapat para ulama yang paling
mudah dan sesuai dengan seleranya. Perilaku seperti ini berarti mempermainkan
agama. Sebab ia menggunakan dalih agama untuk memperturutkan hawa nafsunya.
Wallahu a’lam bishawab.
No comments:
Post a Comment