Artikel Baru :
Home » » Hukum Bermazhab

Hukum Bermazhab

Monday, October 7, 2013 | 0 komentar


“Jauhilah perkara baru dalam agama karena tiap-tiap perkara baru dalam agama itu bid’ah dan tiap-tiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Daud)






PENULIS: Wilta Aulia Rahmat


Part 1

HUKUM BERMAZHAB




PENDAHULUAN


A.  Sejarah Mazhab Dan Hukum Bermazhab


Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia banyak para sahabat yang berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain, terutama pada masa pemerintahan Bani Umaiyyah. Disetiap negeri yang mereka diami, mereka mengajarkan apa yang mereka peroleh dari Rasulullah kepada penduduk dimana mereka tinggal.  Diantara kota-kota tempat tinggal para sahabat tersebut akhirnya ada yang berkembang menjadi pusat perkembangan ilmu-ilmu keislaman yang diantaranya adalah fiqh Islam.

Kota-kota tersebut antara lain:

1.  Madinah

Di kota ini berdiam seluruh Khulafaurrasyidin dan sejumlah besar Ulama sahabat. Diantaranya adalah Abdullah bin Abbas (wafat 68 H), Abdullah bin Umar (wafat 73 H) sebelum keduanya pindah ke Makkah, Zaid bin Tsabit (wafat 45 H), dll. Dari merekalah para Ulama tabiin (generasi sesudah sahabat) seperti said bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman, Sulaiman bin Yassar dll yang tinggal di Madinah menimba ilmu.



Imam Malik adalah seorang Ulama Madinah yang hidup setelah generasi tabiin tersebut. Beliau adalah seorang mujtahid dan Ulama besar yang diikuti oleh banyak orang, yang kepada beliaulah mazhab Maliki di nisbahkan. Mazhab Maliki ini juga dikenal dengan mazhab Ahlul Hadits. Sebab mereka lebih banyak mendasarkan ijtihad mereka pada hadits-hadits nabi yang banyak mereka terima dari para tabiin yang meriwayatkannya dari Rasulullah.



2.  Makkah

Di antara sahabat besar yang tinggal di Makkah adalah Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Murid-murid beliau dari kalangan tabiin diantaranya adalah Atha’ bin Rabbah (wafat 114 H), Thawus bin Kaisan (wafat 124 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H), Muslim bin Khalid al-Jauzi dll. Muslim bin Khalid ini adalah guru Imam Syafi’i sebelum beliau pergi berguru kepada Imam Malik di Madinah. Sedangkan Sufyan bin Uyainah adalah salah satu guru Imam Ahmad bin Hambal.



3.  Kufah

Di antara sahabat yang terkenal dikota ini adalah Abdullah bin Mas’ud (wafat 32 H) dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H). Di antara para murid mereka adalah: Alqomah bin Qais Annakha’i (wafat 60 H)



Kepada merekalah para fuqaha Kufah seperti Ibrahim Annakha’i, Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Syubrumah dan Imam Abu Hanafiah belajar ilmu fiqh. Namun hanya Abu Hanafiahlah yang kemudian mempunyai pengikut hingga sekarang. Mazhab beliau dikenal dengan mazhab Hanafi atau mazhab Ahlu Arra’yi. Sebab beliau dalam ijtihadnya banyak menggunakan ra’yu atau qiyas dan mengembangkan mazhabnya yang sampai sekarang banyak dikenal oleh kebanyakan bangsa Mesir, Turki dan India. Ulama Kufah terkenal dengan mazhab qiyasnya karena mereka dalam memahami fiqh banyak menggunakan qiyas.



 Ahmad bin Hambal tersebut akhirnya dikembangkan dan dibukukan oleh pengikut-pengikutnya. Karena pengikut-pengikut mereka masih eksis hingga saat ini. Hasil-hasil ijtihad dan pendapat para Imam itulah yang kita kenal dengan mazhab.



Sebenarnya selain mereka (mazhab empat) ada juga mazhab lain tapi sayang mazhab mereka kurang dikenal pendapat-pendapatnya, tidak dibukukan seperti mazhab yang empat. Akan tetapi kita menemukan pendapat-pendapat mereka dalam kitab-kitab mazhab yang masyur. Diantara mazhab yang kurang dikenal itu ialah: mazhab Auza’iyyah yang dinisbahkan kepada Abdurrahman Al Auza’i (wafat 113 H). Mazhab Atstsauri yang dinisbahkan kepada Imam Sufyan Atstsauri (wafat 161 H) dll.







PEMBAHASAN






A. HUKUM BERMAZHAB

Pada beberapa tahun yang silam di Jepang tepatnya di Tokyo diadakan koferensi Islam. Dalam acara itu ada seseorang yang menanyakan bagaimana hukumnya bermazhab, apakah wajib bagi seseorang untuk mengikuti salah satu mazhab yang empat. Pada kesempatan itu tampil Syaikh Muhammad Sulthan Alma’sumi Al Khajandi, seseorang pengajar di Masjidil Haram Makkah. Beliau menyerukan kaum muslimin untuk kembali kepada yang pernah dilakukan oleh umat yang terbaik para sahabat. Beliau menyeru untuk tidak bertaqlid buta (fanatik) pada salah satu mazhab tertentu. Akan tetapi dipersilakan mengambil dari tiap mujtahid atau ahli ijtihad dengan berdasarkan pada Al Quran dan Sunnah sebagai rujukan. Sebab sebenarnya mazhab-mazhab adalah pendapat dan pemahaman orang-orang berilmu dalam beberapa masalah. Pendapat, ijtihad dan pemahaman ini tidak diwajibkan oleh Allah dan rasul-Nya untuk mengikutinya. Karena di dalamnya terdapat kemungkinan betul dan salah. Karena tidak ada pendapat yang seratus persen benar kecuali yang berasal dari Rasulullah SAW.

Sementara itu mengikuti salah satu mazhab yang empat atau lainnya bukanlah persoalan wajib atau sunnah.seseorang muslim tidak diharuskan mengikuti salah satunya. Dan bahkan orang yang mengharuskan untuk mengikuti salah satunya sebenarnya ia seseorang fanatik. Begitulah menurut syekh Sulthan.

Lain lagi pendapat syekh Ramadhan Al Buthi dalam bukunya “Alla Mazhabiyyah, Akhtaru Bida’in Fil Islam” (tidak bermazhab adalah bid’ah paling berbahaya dalam Islam). Beliau berpendapat wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti salah satu mazhab yang masyur (mazhab empat). Sebab mazhab-mazhab itu sudah teruji kevalidannya. Namun kendati begitu tidak boleh bagi yang telah mengikuti salah satu mazhab tertentu menyalahkan orang diluar mazhabnya.

Dalam buku tersebut beliau membagi kaum muslimin sekarang menjadi dua golongan. Golongan muttabi’ dan golongan muqallid. Orang yang telah faham (mengerti) Al Quran dan sunnah wajib mengikuti mazhab tertentu sebagai kerangka berfikir, supaya ia tidak jatuh pada kesalahan. Golongan inilah yang disebut muttabi’ sementara orang yang belum faham terhadap Al Quran dan sunnah diharuskan mengikuti Ulama yang dianggap mengerti dalam masalah agama. Golongan yang kedua ini disebut muqallid. Secara implisit beliau meniadakan kelompok yang ketiga, yaitu kelompok mujtahidin. Dengan kata kata lain beliau menutup pintu ijihad untuk masa sekarang. Inilah yang kemudian ditentang oleh Muhammad Abu Abbas dalam bukunya “Al Mazhahibul Muta’ashshabah hiyal Bid’ah aw Bid’atut Ta’ashshubi Al Mazhabi” beliau berpendapat justru pintu ijtihad masih terbuka sampai sekarang dengan alasan Nabi telah membuka pintu ijtihad dan beliau tidak pernah menutupnya. Karenanya tidak ada seorangpun yang berhak menutup pintu ijtihad tersebut.

Oleh karena itu Muhammad Abu Abbas membagi kaum muslimin pada tiga golongan, yaitu mujtahid, muttabi dan muqallid. Bagi mereka  yang telah mampu untuk mengetahui dan mengkaji hukum-hukum langsung dari Al Quran dan Sunnah walaupun hanya dalam masalah tertentu maka haram baginya bertaklid dalam masalah tersebut (golongan mujtahid). Sedankan bagi mereka yang hanya mampu untuk mengkaji pendapat-pendapat para ulama serta mengetahui metode istimbath (pengambilan hukum) mereka dari Al Quran dan Sunnah maka kewajiban mereka adalah ittiba’. Jelasnya ittiba’ –mengutip perkataan abu Syamah- adalah mengikuti pendapat seorang ulama lantaran nyata dalilnya dan shah mazhabnya.”

Adapun bagi orang yang betul-betul awam (tidak mengerti dalam masalah agama) BOLEH bagi mereka bertaklid dengan syarat, sebagaimana dikatakan Imam Asysyatibi dalam ali’tishom- (pertama) tidak boleh bertaklid kecuali pada orang yang benar-benar ahli dibidang agama. (kedua) tidak boleh mengikat dirinya serta menutup dirinya dari mengikuti selain mazhabnya, jika telah jelas padanya bahwa pendapat mazhabnya itu salah, maka wajib baginya mengikuti yang telah jelas kebenarannya.

Pendapat yang terakhir inilah yang wasath (pertengahan). Sebab mengharamkan taklid secara mutlak adalah menafikkan mereka yang benar-benar awam terhadap agama. Sedangkan mewajibkan taklid dan menutup pintu ijtihad berarti menghilangkan universalitas Islam yang senantiasa relevan terhadap perkembangan zaman. Padahal banyak hal-hal baru yang tak bisa dijawab dan disikapi kecuali dengan ijtihad. Jelasnya setiap orang perlu ditempatkan sesuai dengan kemampuan dan kondisinya.

Berarti fenomena bermazhab adalah sesuatu yang perlu dilihat berdasarkan kondisi orang per orang yang tentunya tidak bisa digeneralisir. Tidak bisa diharuskan secara mutlak dan tidak bisa dilarang secara mutlak pula. Berkaitan dengan bermazhab ini ada dua hal yang  perlu dijauhi oleh setiap muslim:

1.   Fanatisme (ta’ashshub) terhadap suatu mazhab tertentu seraya memonopoli kebenaran apalagi jika sampai menimbulkan perpecahan. Sebab setiap orang kecuali Nabi memiliki potensi untuk salah, walaupun ia seorang mujtahid. Karenanya Rasul bersabda: “Barang siapa berijtihad dan ia benar maka baginya dua pahala, dan barang siapa berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala”

2.   Tatabbu’ rukhas atau mencari-cari pendapat para ulama yang paling mudah dan sesuai dengan seleranya. Perilaku seperti ini berarti mempermainkan agama. Sebab ia menggunakan dalih agama untuk memperturutkan hawa nafsunya. Wallahu a’lam bishawab.



Share this article :

No comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. PENDIDIKAN ISLAM - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger